Aku mengusap-usap kedua bola mataku. Ku raba dahiku yang
mengeluarkan keringat dingin. Entah sejak kapan. Ku dudukkan diri di kasur
pegas ini. Helaan nafas panjang tak lama terhembus dari mulutku.
Hanya mimpi.
Jelas sekali bagaimana kemarin sosokmu ku jumpai di sudut
koridor kelas. Dingin. Membeku. Seolah menyimpan seribu kebencian yang tak
pernah berani kau utarakan. Marahkah dirimu padaku? Apa sebenarnya salahku?
Lalu di tengah kebimbangan aku menuju tempat ibadah. Agamaku,
juga agamamu. Ku ambil wudhu dan mulai menyeka wajahku dengan air. Dingin. Tapi
sungguh ini tak seberapa dingin dibanding sikapmu padaku.
Lalu kulangkahkan kakiku menuju tempat sembahyang. Tunggu. Kenapa
tasmu ada disitu?
Tanpa kesadaran ku lemparkan barang apa saja yang ada ke
arah tasmu. Aku lepas kendali. Sungguh, aku lelah karena tidak mampu mengerti
dirimu.
Tapi kau tiba-tiba muncul. Apa barang tadi mengenaimu? Maaf,
aku tidak bermaksud. Hei! Kenapa kau menuju sudut ruangan itu. Dan apa kau
benar-benar menangis?
Aku mendekatimu. Benar kau menangis?
“Tolong jangan menangis. Sakiti aku sepuas hatimu tapi
jangan menangis. Tolong,”
Aku sudah memohon. Kau masih tetap menangis. Kenapa laki-laki
sepertimu menangis di hadapanku?
Ku beranikan diri memegang kedua pipimu. Dingin telapak
tanganku seorang terserap pipi basahmu. Kau berkeringat?
“Sakiti aku kalau itu bisa membuatmu puas,”
Ujarku dan kau mulai menamparku pelan. Sangat pelan. Apa itu
puas?
“Lebih kencang lagi, sampai kau puas!”
Kau lebih bertenaga lagi sekarang. Ayo teruskan sampai
dendammu habis.
“Terus!”
Kali ini tamparanmu terasa sakit. Legakah dirimu?
Aku baru menyadari tanganku masih berada di pipimu. Dan hei!
Pipimu sudah tak berkeringat. Pertanda baik kah?
Senyum? Benarkah kau tersenyum. Senyuman dan tatapanmu yang
begitu dekat ini mengapa terasa... indah? Aku membalas senyuman indahmu itu. Apa
rasa dendammu padaku sudah hilang?
Adegan yang cukup lama ini... walau disaksikan semesta. Aku tak
peduli. Sungguh aku sangat merasa lega.
Aku berdiri keluar meninggalkanmu. Membatalkan niatan awalku
untuk beribadah. Aku sudah batal.
Sesampainya di luar aku diserbu pertanyaan oleh kawan.
“Hei apa kalian sudah berpacaran?”
Aku tertawa geli.
Aku berjalan terus tanpa arah meninggalkan kenangan. Berbahagia
dengan ingatan. Berbagi cerita pada dunia fana. Hingga aku disadarkan oleh
kenyataan.
Pagi menjelang. Dan semua hanya mimpi belaka.