'Aku bagai berjalan di atas kerikil kehidupan
Semua jalan hidup katanya sudah dibukukan
Tapi aku merasa salah jalan
Bersamamu memang inginku, mimpiku
Tapi benarkah takdirku adalah mendampingimu?
Aku masih meragukan hal itu'
Semua jalan hidup katanya sudah dibukukan
Tapi aku merasa salah jalan
Bersamamu memang inginku, mimpiku
Tapi benarkah takdirku adalah mendampingimu?
Aku masih meragukan hal itu'
[28 Desember 2023]
(04.11 WIB)
(04.11 WIB)
Azri
menutup buku hariannya. Ia tidak ingin menulis lebih banyak sajak keluhan lagi.
Ia memasukkan buku hijaunya ke dalam tas jinjingnya. Sudah penuh. Ia terpaksa
harus menaruhnya di laci. Lalu pandangannya beralih menatap wajah polos seorang
lelaki yang sedang tidur di hadapannya. Tampan. Lugu. Ah, sangat berat baginya
melepaskan lelaki ini. Lelaki yang sudah sepuluh tahun didambanya. Lelaki yang
tiba-tiba dihadirkan Tuhan ke hadapannya setelah perpisahan panjang. Lelaki
yang sebulan lalu meminangnya tanpa pernah ia ketahui alasannya. Lelaki
misterius ini...
Azri
mengangkut tasnya. Berat. Tapi tidak lebih berat dari beban hati yang ia
rasakan selama sebulan mengarungi bahtera rumah tangga dengan Dharma. Ia
membuka pintu kamar dengan hati-hati, memandang Dharma dengan sedih, lalu
meninggalkannya.
'Maaf saya butuh waktu untuk berpikir. Juga kamu perlu
waktu untuk memikirkan apakah tidak menyesal menikah dengan saya. Sebelum semua
terlambat. Maafkan saya.'
(05.02 WIB)
Di
depan loket kereta, Azri memilih tujuan. Haruskah ia pergi ke rumah
orangtuanya? Oh, tidak. Ia tidak ingin orangtuanya jadi khawatir. Ia baik-baik
saja. Ia hanya perlu waktu untuk berpikir jernih, dan siapa kiranya yang bisa
ia datangi?
Azri berpikir sesaat dan kemudian pilihannya terjatuh pada...
Azri berpikir sesaat dan kemudian pilihannya terjatuh pada...
'Ting nong'
Bel rumah kediaman seseorang dipencet oleh Azri. Penghuninya berlari cepat menuju pintu.
Bel rumah kediaman seseorang dipencet oleh Azri. Penghuninya berlari cepat menuju pintu.
“Assalamu'alaikum.”
“Astaga! Kamu ngapain disini? Haa!! Abang mana?” Bella
menengok kanan kiri memastikan keberadaan kakaknya. Azri langsung terisak di hadapannya.
“Di rumah,” Azri menjawab sambil sesegukan. Bella semakin tidak mengerti.
Akhirnya ia mempersilahkan Azri masuk.
“Oke kamu masuk dulu, aku mau mandi dulu, bau kue,” ujar
Bella sambil berlalu.
“Kak Rangga sama Nat-Lit nggak di rumah?”
“Oh, kak Rangga sama temennya ngajak anak-anak jalan.”
Azri
mengangguk. Ia menyeka air matanya tadi. Di ruang tamu ia memandang foto
keluarga Bella. Pasangan Bella - Rangga dengan anak kembarnya yang umurnya baru
dua tahun, Natri Umira dan Lithi Umira. Natrium dan Lithium. Azri tersenyum
membayangkan kejadian ketika Bella dan Rangga berdebat menentukan siapa yang
akan memberi nama untuk anaknya. Bella bertaruh kalau anaknya kembar, ia yang
akan memberinya nama, sedangkan sang suami meyakini anak mereka tidak kembar. Ketika
lahir anak kembar, Bella langsung menamai anaknya dengan apa yang sedang ada di
fikirannya. Rangga yang sebenarnya tidak setuju karena merasa namanya aneh,
terpaksa menyetujuinya.
Sebenarnya
Azri sudah mengira kalau anak Bella pasti kembar, mengingat Bella dan Dharma
adalah saudara kembar. Kembar yang tidak identik. Dharma tinggi dan Bella
pendek. Dharma pendiam dan Bella cerewet. Dharma suka perempuan dan Bella suka
laki-laki. Itu kalimat yang suka Bella lontarkan kalau sedang membahas Bella
dan Dharma yang tidak ada mirip-miripnya.
“Maaf
ya zri lama,” ujar Bella sambil duduk di hadapan Azri. Azri mengangguk. Bella
langsung menyerang Azri, “Kamu harus cerita kenapa kamu bisa disini, dan kenapa
nggak sama abang?”. Azri bercerita menahan air matanya yang akan tumpah.
(12.33 WIB)
“Oh, begitu ya...”
Azri mengangguk kecil. Ia sudah tidak menangis lagi. “Gini,
Zri, aku tau banget tabiatnya dia. Dia nggak mungkin melakukan sesuatu tanpa
alasan,” Bella mencoba meyakinkan Azri. “Dia nikahin aku tanpa alasan!” Azri
ngotot. “Tapi bisa aja kan dia malu, atau merasa belum waktunya menyentuh kamu.
Atau dia nggak normal, hehe,” Bella mencoba mencairkan suasana tapi dibalas
tatapan tajam oleh Azri. “Oke dia normal! Tapi... tadi apa kamu bilang? Dia
nikahin kamu tanpa alasan? Dia punya alasan tau!” Balas Bella ngotot. Kemudian
berlalu dari ruang tamu.
Azri
bingung menatap Bella yang tiba-tiba berlalu. Barusan Azri panjang lebar
menceritakan sikap suaminya, yang sudah sebulan menikahinya tapi belum pernah
menyentuhnya sama sekali. Ya, itu yang mengganjal perasaan Azri selama ini.
Dharma meminang Azri tiba-tiba, tanpa ada hubungan pacaran. Dharma juga tidak
pernah mengatakan perasaannya. Azri malah takut kalau selama ini Dharma kasihan
terhadapnya sehingga memilih menikahinya. Itu keraguan yang selama ini ia
rasakan.
“Zri, shalat Dzuhur
dulu! Nanti aku kasih tau alasannya!” Bella berteriak dari kamarnya.
---
“Tas
kamu berat juga yaaa...” ujar Bella sambil mengangkut tas Azri menuju kamar
tamu. Azri mengikuti dari belakang. Bella tiba-tiba menghentikan langkah
melirik Azri sekilas. “Kamu yakin mau nginap disini?” Bella melanjutkan
langkahnya lagi, sambil mencari kunci. “Iya, dua hari mungkin”. Bella menghela
nafas.
“Kenapa?
Maaf ya Bell aku ngerepotin kamu,” sesal Azri. Bella membuka pintu mempersilahkan
Azri merapikan bawaannya. “Bukannya gitu, kakak ipar... tapi kalau abang nanti
nanya ke aku gimana?” tanya Bella sambil memperhatikan Azri yang mulai
mengeluarkan bajunya. “Bilang aja kamu nggak tau, please,” mohon Azri. Bella mendesah.
“Apa boleh buat.”
“Oh iya tadi katanya
mau kasih tau sesuatu?”
(14.03 WIB)
Azri
memandang sebuah binder bersampul Spider-man warna biru. Baru saja Bella memberikan
benda itu kepadanya. Bella mengatakan bahwa dia menemukan buku ini saat
beberapa waktu lalu membantu orangtuanya pindah rumah. Ia menemukan buku itu di
kamar bekas kakaknya dulu, jadi sudah pasti itu adalah milik Dharma sang kakak.
Bella mengatakan ia baru membacanya sebagian dan ia berpikir kalau Azri lah
yang lebih pantas membacanya.
Kening Azri berdenyut. Ia ragu apa harus membacanya atau
tidak. Membacanya sama dengan membawa diri masuk ke kenangan Dharma kan? Apa ia
siap? Bukankah ia pergi untuk menjernihkan pikirannya? Apa setelah membaca ini
pikirannya akan menjadi jernih atau semakin keruh? Entah. Yang jelas naluri
penasaran sebagai seorang istri, membawanya masuk ke dalam kenangan lama
suaminya.
------------------------------
[27-09-2013]
Bro,
gua ngga nyangka harga lo mahal juga sebagai seorang sebuah buku. Mulai hari
ini lo harus jadi temen gue selayaknya dia dengan temennya yang hijau itu ya?
Gua namain lu SpiDharman.
***
Seorang gadis berseragam SMA menutup bukunya begitu
terdengar suara langkah kaki mendekat menuju mejanya.
“Hai,” ujar suara pemilik langkah, lelaki. Gadis itu mendongakkan
kepalanya. “Kamu siapa?” tanya gadis itu dingin. Sang lelaki tersenyum simpul,
tidak menjawab. “Itu apa?” dia balik bertanya menatap buku hijau di dekapan
sang gadis. Si gadis mengamati si lelaki dari atas ke bawah. “Kenapa? Kita kan
sekelas. Saya ketua kelas kamu.”
Gadis
itu membulatkan mulutnya.
------------------------------
[30-09-2013]
Bro,
sorry gua gabisa sering-sering ngisi lu. Gue sekarang sibuk banyak kerja
kelompok. Iya, ada juga yang sama si cewek buku hijau. Lu mau gua kenalin sama
buku hijaunya nggak? Kapan-kapan ya, bro.
***
“Sorry gue telat!”
Semua pasang mata yang datang memandang ke arah suara
dari pintu masuk, terkecuali seorang gadis yang asyik dengan laptopnya. Si lelaki
termenung menatap si gadis. “Woy, bengong! Sini masuk jangan di pintu aja,
Dhar!” ujar salah satu teman menegur. Yang dipanggil Dhar segera masuk mengambil
tempat di sebelah si gadis. “Bagian kerja saya yang mana?” tanyanya sambil
lekat menatap si gadis. Si gadis balik menatap, ia terkesiap. “Nama kamu siapa?”
tanyanya polos. “Dharma. Nama saya Dharma,” jawab Dharma tegas. “Ohiya. Dharma
kamu edit slide satu sampai tujuh ya, nanti kalau udah panggil saya,” jawab si
gadis sambil berlalu.
“Azri!”
seru Dharma. Yang dipanggil langsung menoleh. “Kamu mau kemana?” sambungnya.
“Duduk di ayunan luar,” jawab Azri singkat kemudian berlalu. “Saya ikut!” jawab
Dharma sambil mengangkut laptop menuju ayunan depan. Anggota kelompok yang lain
hanya menggeleng memperhatikan kelakuan ketua kelasnya yang belakangan ini
aneh, namun sesaat kemudian kembali tenggelam dengan aktivitasnya.
------------------------------
[04-10-2013]
I'm trying to show my affection. Ini nggak salah kan, bro? Hari ini hari yang panjang...
Kita tabrakan. Kerja kelompok bareng (lagi). Piket bareng pertama kalinya. Pulang bareng? Hemm belum berani ngajaknya.
Hari yang berkesan. Apa dia ngerasa hal yang sama? I hope so.
Kita tabrakan. Kerja kelompok bareng (lagi). Piket bareng pertama kalinya. Pulang bareng? Hemm belum berani ngajaknya.
Hari yang berkesan. Apa dia ngerasa hal yang sama? I hope so.
***
Azri
berlari menyusuri koridor menuju kelasnya yang letaknya hampir di ujung gedung.
Tadi ia terlambat dan harus menjalani hukuman piket. Ia menyelesaikan
hukumannya dan bergegas menuju kelas. Sudah pukul tujuh lewat seperempat jam.
Pasti guru PPKn sudah memberi banyak materi. Guru itu sangat teliti dalam nilai
kedisiplinan dan sejujurnya ia tak ingin terlambat di pelajarannya. Azri meraih
gagang pintu kelasnya dengan cepat dan tiba-tiba...
‘Bruk’
Azri
merasa dirinya terpental satu meter dari tempat asalnya. Ia meringis kesakitan.
Di depannya terpampang sepasang kaki nan panjang. Azri menoleh ke atas.
Laki-laki super duper tinggi yang menabraknya ini menawarkan tangannya untuk
membantunya bangun. Azri menolaknya dan bangun sendiri. “Bukan muhrim,” tolak
Azri. Dharma menarik kembali tangannya, seolah menyesal. “Saya minta maaf,
buru-buru mau ke toilet,” ujar Dharma. Azri mencuri pandang ke kelas, “Guru
PPKnnya nggak dateng ya?”. “Iya, kita dapat tugas kelompok”. Azri mengerut,
“Kita?”. Dharma mengangguk. “Iya, kamu masuk ke kelompok saya. Sama Uzli, Dona,
Lia. Gabung aja disana lagi ngerjain tugasnya,” jelas Dharma lalu meninggalkan
Azri. Azri memandang langkah cepat Dharma yang mulai menjauh. Setelahnya, ia
masuk kelas dan bergabung dengan kelompoknya.
“Wah sini Zri, kita udah
ngerjain. Tinggal sedikit lagi coba dong revisi, tema kita Pancasila Sebagai
Ideologi Negara,” ujar Lia sambil memberikan kertas tulisan tangan kelompok
mereka. Tulisan-tulisan yang asing untuk Azri karena ia jarang mempedulikan
teman sekelasnya. Azri membaca dengan serius. “Udah bagus, tapi ini udah
selesai? Bagian aku apa?” tanya Azri yang merasa dirinya useless. “Tadi bagian lu dikerjain Dharma, Zri. Dharma nyuruh
masukin nama lu ke kelompok kita dan dia yang bertanggungjawab atas kerjaan lu.
Kita kira lu nggak bakal dateng makanya kita selesain cepet-cepet,” jelas Uzli.
Azri mengangguk kecil. Ia merasa Dharma sangat peduli padanya. Atau dia peduli
pada semuanya? Azri menggaruk-garuk kepalanya.
“Dharma
baik banget ya sama Azri. Kalau gue yang nggak masuk apa dia bakal ngerjain
tugas gue juga?” ceplos Dona yang dibalas kekehan oleh Lia. Uzli menoyor kepala
Dona, “ngarep!” ujarnya. Azri tersenyum kecil.
Dharma
kembali ke kelas, melangkah menuju tempat kumpul teman-teman sekelompoknya.
“Udah selesai tugas kita?” tanyanya. “Udah. Lu yang kumpulin ya, Dhar,” ujar
Uzli sambil beranjak kembali ke tempat duduknya. Disusul oleh Lia dan Dona.
Azri berdiri dan menatap Dharma, ingin berterimakasih, tapi ucapannya tertahan.
Dharma tersenyum lebar pada Azri. Azri menundukkan kepalanya dan langsung
beranjak.
~
Jam
pulang sekolah tiba, Azri merapihkan bukunya dan bersiap untuk pulang.
Teman-temannya sudah mendahuluinya. Ia berpikir ia sendirian tetapi begitu ia
menyadari ternyata ada seorang lain yang masih tersisa di kelas. Seorang lelaki
yang membawa sapu. Azri memakai kacamatanya dan melihat lebih jelas siapa orangnya.
Ternyata Dharma, dia piket sendiri?
Tanpa
aba-aba Azri ikut mengambil sapu dan menyapu bagian belakang sementara Dharma
menyapu bagian depan. Dharma terkejut menyadari keberadaan Azri. “Loh Azri,
kamu kan jadwal piketnya bukan hari ini?”. Azri gagap, “Eh, emm habis nggak ada
yang piket lagi,”
“Makasih ya,”
“Eh?”
“Iya, makasih udah bantuin saya piket.”
“Oh. Itu. Saya juga mau berterimakasih soal tugas PPKn yang tadi. Makasih ya.”
“Iya sama-sama.”
“Eh?”
“Iya, makasih udah bantuin saya piket.”
“Oh. Itu. Saya juga mau berterimakasih soal tugas PPKn yang tadi. Makasih ya.”
“Iya sama-sama.”
Azri menyerok sampah dan memasukkannya ke tempat sanpah.
Bagiannya sudah selesai dan ia mengambil tasnya. Ia melihat Dharma masih sibuk
dengan sampahnya. “Ekhem,” Azri mendehem, Dharma menoleh. “Duluan ya!” sambung
Azri. Dharma mengangguk sambil tersenyum. Azri membalas senyumnya kikuk. Dharma
mengamati langkah Azri yang mulai menjauh.
------------------------------
[21-10-2013]
[21-10-2013]
SMA
dan kegiatannya makin hari makin ribet ya. Gue capek. Terlebih sama ekskul yang
sekarang. Tapi gue seneng juga sih, ada dia yang satu organisasi sama gue.
Tapi... semakin kita deket, kenapa gue semakin takut ya?
***
Dharma berbaris di
bawah terik matahari. Matanya menyipit kesilauan. Tangan dan kakinya bergerak
sesuai komando sang pelatih.
“Hormaaat grak!”
Tangannya
langsung bergerak hormat, menghormati sang saka yang mulai diturunkan dari
pelatarannya. Setiap perjuangan pahlawan bagai terasa dalam setiap kepakan sang
merah putih yang ditiup angin. Menerbangkan jiwa-jiwa nasionalis yang hampir
punah di kalangan bangsa masa kini. Nurani Dharma yang nasionalis, tidak ingin
semangat bangsa dalam menghargai pahlawan ini punah, maka dari itu, ia sangat
ingin mengikuti Paskibra ini. Walau sepi peminat.
“Tegaaak grak!” Komando
dari sang pelatih membuat para pasukan hormat menurunkan tangannya. “Tanpa
penghormatan umum, balik kanan bubar jalan!” Pasukan pun bubar dari barisannya.
“Kalian dipersilakan istirahat selama lima menit,” sambung si pelatih. Para
anggota yang ada pun langsung melemaskan anggota-anggota tubuhnya.
“Bang?” tanya seorang
gadis pada Dharma.
“Kenapa, Bel?” tanyanya singkat.
Bella bersuara pelan hampir berbisik, “jam berapa sekarang?”
Dharma mengambil jam yang ditaruh di kantung celananya. “16.15”
Mata Bella membulat. “Kok kita udah diistirahatin aja sih?” Bella bertanya tidak santai. Dalam hati Dharma mengiyakan. Tidak biasanya.
“Kenapa, Bel?” tanyanya singkat.
Bella bersuara pelan hampir berbisik, “jam berapa sekarang?”
Dharma mengambil jam yang ditaruh di kantung celananya. “16.15”
Mata Bella membulat. “Kok kita udah diistirahatin aja sih?” Bella bertanya tidak santai. Dalam hati Dharma mengiyakan. Tidak biasanya.
“Siap
grak!” perintah sang pelatih membuat semua pasukan kembali ke posisi siap. “Berhubung
kita akan mengadakan lomba dan kekurangan personil, mulai hari ini kita
kedatangan beberapa anggota baru. Semua pasukan perhatian!”
Dharma melirik semua anggota baru dan matanya bertemu dengan
sosok yang dikenalnya. Orang itu hanya menunduk. Benarkah orang itu?
------------------------------
[11-11-2013]
[11-11-2013]
Latihan
panjang dan lomba bareng udah selesai. Gue jadi semakin takut sama dia.
Ketakutan akan hal yang sama seperti dulu.
***
“Wah selamat ya buat kita, juara dua. Seneng banget!”
Azri memandangi temannya yang baru datang di kelas sedang kegirangan, Cacha. Ia juga senang. Atas alasan lain tapi.
“Aku juga, nggak nyangka ya...” sahut Azri. Cacha masih kegirangan.
Dari radius beberapa meter ada seseorang yang sedang memandangi kebahagiaan mereka. Empati Azri membuatnya langsung menoleh dan mendapati seseorang menatapnya dengan tajam. Ia menunduk.
“Kenapa zri?”
“Nggak apa-apa.”
Cacha mengerutkan kening. Tidak mungkin tidak ada apa-apa. Azri memberanikan diri bertanya. “Cha, kamu kenal Dharma?”
Cacha tertawa sekilas. “Kenal lah. Patokan pasukan kita kan.”
Azri mendengus, “bukan itu.”
Azri memandangi temannya yang baru datang di kelas sedang kegirangan, Cacha. Ia juga senang. Atas alasan lain tapi.
“Aku juga, nggak nyangka ya...” sahut Azri. Cacha masih kegirangan.
Dari radius beberapa meter ada seseorang yang sedang memandangi kebahagiaan mereka. Empati Azri membuatnya langsung menoleh dan mendapati seseorang menatapnya dengan tajam. Ia menunduk.
“Kenapa zri?”
“Nggak apa-apa.”
Cacha mengerutkan kening. Tidak mungkin tidak ada apa-apa. Azri memberanikan diri bertanya. “Cha, kamu kenal Dharma?”
Cacha tertawa sekilas. “Kenal lah. Patokan pasukan kita kan.”
Azri mendengus, “bukan itu.”
“Kamu ada apa-apa sama dia?”.
Azri merenung sejenak, lalu menggeleng. “Nggak.”
“Kirain ada apa-apa.”
“Kirain ada apa-apa.”
“Emangnya kenapa kalau ada apa-apa?”
“Denger-denger sih dia dulu pas SMP terlibat cinta sama
sahabatnya sendiri. Sempet pacaran. Tapi sampai sekarang belum move on
kayaknya.”
Azri terkejut. Ia fikir Dharma tidak pernah menjalin
hubungan dengan siapa-siapa. Azri selama ini sudah salah paham soal Dharma. Ya,
ia memang tak tahu apa-apa soal lelaki itu. Yang ia tahu, sikap lelaki itu
kepadanya sangat aneh, dan... ia merasa getaran yang aneh juga tiap kali
memikirkan lelaki itu. Ia harus segera menghapusnya.
“Kamu kenapa, Zri?” tanya Cacha heran melihat Azri yang
mengibas-ibaskan tangan di kepalanya. “Eh?” Azri langsung menurunkan tangannya.
“Gapapa. Aku ke toilet dulu, ya.”
Azri bergerak keluar kelas menuju toilet. Di koridor ia melihat Bella dan Dharma sedang berdebat di depan kelas Bella yang letaknya hanya di sebelah kelas mereka. Ia mencoba pura-pura tidak lihat dan buru-buru menuju toilet. Sampai kemudian...
“Hai Azri!”
Azri terpaksa membanting setir dan menatap yang memanggilnya barusan. “Hai, Bell.”
Ia melirik ke arah dua kakak beradik itu dan tatapannya bertemu dengan Dharma. Mata Dharma yang tajam, lurus dan dalam menembus matanya. Azri mengalihkan pandang, saking tak kuatnya.
Azri bergerak keluar kelas menuju toilet. Di koridor ia melihat Bella dan Dharma sedang berdebat di depan kelas Bella yang letaknya hanya di sebelah kelas mereka. Ia mencoba pura-pura tidak lihat dan buru-buru menuju toilet. Sampai kemudian...
“Hai Azri!”
Azri terpaksa membanting setir dan menatap yang memanggilnya barusan. “Hai, Bell.”
Ia melirik ke arah dua kakak beradik itu dan tatapannya bertemu dengan Dharma. Mata Dharma yang tajam, lurus dan dalam menembus matanya. Azri mengalihkan pandang, saking tak kuatnya.
“Nanti jangan lupa latihan, ya!” ujar Bella antusias.
Azri tersenyum dan mengangguk kecil. Saat kembali menatap Bella sudut matanya
menangkap tatapan Dharma lagi. Tatapan tajam itu maksudnya apa sih?
Oh
tidak, ia lupa. Orang aneh ini punya wanita lain. Ia tak perlu pusing-pusing
menebak maksudnya.
------------------------------
[13-01-2014]
Semester
baru. Intensitas dia ngeliat gue makin sering. Gue bisa nggak tahan lagi.
***
“Hari ini kita koreksi
ulangan yang kemarin ya. Farah sama Novrina tolong bagikan ulangannya, tapi
jangan ke pemiliknya,” ujar guru Kimia sambil memberikan dua bagian kertas
ulangan kepada yang disebut Farah dan Novrina tadi. Mereka masing-masing
berpencar menuju sudut kanan dan sudut kiri kelas.
“Far, gue mau ngoreksi
yang tulisannya bagus!” Pinta Uzli kepada Farah. Farah mendengus.
“No request. Ini kan pg nggak pake tulisan. Punya Azri aja nih.”
“Oke,” ujar Uzli sambil mengambil kertas dari tangan Farah, namun tiba-tiba tangannya dihadang tangan teman semejanya. “Punya Azri gue aja yang koreksi,” ujar Dharma singkat langsung mengambil kertas Azri. Farah dan Uzli berpandangan. Farah langsung memberi Uzli kertas milik teman yang lain. Tidak mau ambil pusing.
“No request. Ini kan pg nggak pake tulisan. Punya Azri aja nih.”
“Oke,” ujar Uzli sambil mengambil kertas dari tangan Farah, namun tiba-tiba tangannya dihadang tangan teman semejanya. “Punya Azri gue aja yang koreksi,” ujar Dharma singkat langsung mengambil kertas Azri. Farah dan Uzli berpandangan. Farah langsung memberi Uzli kertas milik teman yang lain. Tidak mau ambil pusing.
“Semua udah dapat
lembar jawaban teman kalian kan? Sekarang koreksi dengan kunci yang ada di
depan. Soalnya kan pilihan ganda dua puluh, cara nilainya jumlah betul tinggal
dibagi dua saja. Lima menit lagi Ibu langsung absen nama teman kalian.
Pengoreksi langsung sebutkan nilai. Cepat, nggak pake lama.”
Anak-anak
di kelas langsung segera mengoreksi kertas yang mereka pegang. Maklum, guru
Kimia mereka memang sangat tegas -mendekati galak- jadi mereka harus sigap
kalau tidak ingin terkena semprot.
Dharma langsung mengoreksi lembar Azri. Hasilnya menakjubkan, hanya salah dua. Ia mencuri pandang ke arah Azri dan ketika ia menoleh ia mendapati Azri sedang memandanginya lekat-lekat. Kening Dharma mengkerut. Azri langsung menoleh ke arah yang lain.
Dharma langsung mengoreksi lembar Azri. Hasilnya menakjubkan, hanya salah dua. Ia mencuri pandang ke arah Azri dan ketika ia menoleh ia mendapati Azri sedang memandanginya lekat-lekat. Kening Dharma mengkerut. Azri langsung menoleh ke arah yang lain.
“Kenapa Dhar?” tanya
Uzli melihat Dharma yang celingukan.
“Gapapa Jli.”
“Dikit lagi nama lu disebut, pasang kuping.”
Dharma mengangguk.
“Gapapa Jli.”
“Dikit lagi nama lu disebut, pasang kuping.”
Dharma mengangguk.
“Dharma?”
“Enam koma lima, Bu.”
“Enam koma lima, Bu.”
Dharma
langsung menoleh ke sumber suara. Ternyata Azri yang mengoreksi jawabannya. Ia
tersenyum kecil. Azri terlihat salah tingkah dan menunduk. Dharma berbalik
menoleh ke arah Uzli sambil senyum-senyum kecil. “Kenapa?” interogasi Uzli yang
curiga mendapati kelakuan aneh Dharma.
“Cakep.”
“Capep apaan?”
“Nilai gue,” jawab Dharma santai sambil senyum-senyum kecil. Uzli menyentuh kening Dharma, menilai apakah Dharma sudah mulai kurang waras. Sedari awal penyebutan nilai tadi, nilainya adalah yang terburuk.
“Apaan sih pegang pegang?” sewot Dharma sambil menyingkirkan tangan Uzli.
“Gue ngecek lu masih waras apa nggak.”
“Apa-apaan lu?!”
“Eh itu nama Azri udah dipanggil-panggil!”
“Cakep.”
“Capep apaan?”
“Nilai gue,” jawab Dharma santai sambil senyum-senyum kecil. Uzli menyentuh kening Dharma, menilai apakah Dharma sudah mulai kurang waras. Sedari awal penyebutan nilai tadi, nilainya adalah yang terburuk.
“Apaan sih pegang pegang?” sewot Dharma sambil menyingkirkan tangan Uzli.
“Gue ngecek lu masih waras apa nggak.”
“Apa-apaan lu?!”
“Eh itu nama Azri udah dipanggil-panggil!”
“Siti Azri mana?!”
Dharma panik.
“SAYA SITI AZRI, BU!”
Dharma panik.
“SAYA SITI AZRI, BU!”
*hening*
Seisi kelas mulai
tertawa. Bukan apa-apa, barusan Dharma tidak menyebutkan nilai dan malah teriak
sambil berdiri dan menggebrak mejanya. Guru Kimianya pun terkejut. Sang guru
langsung ikut berdiri.
“Kamu yang koreksi punya Siti Azri?!” tanya sang guru
sambil menggebrak meja, meniru gaya Dharma tadi.
Dharma melirik ke arah Azri, yang ternyata sedang memperhatikannya.
“Iya, Bu!” jawabnya tegas. Masih berdiri menatap yakin sang guru.
“Berapa nilainya?!”
“Cakep, Bu!”
Dharma melirik ke arah Azri, yang ternyata sedang memperhatikannya.
“Iya, Bu!” jawabnya tegas. Masih berdiri menatap yakin sang guru.
“Berapa nilainya?!”
“Cakep, Bu!”
Seisi kelas sudah tidak bisa menahan tawa mereka lagi.
Menyaksikan seorang guru dan murid berhadapan dan saling menyalak. Sang guru
mulai geram.
“BERAPA NILAINYA, DHARMA?!”
“SEMBILAN, BU!”
“SEMBILAN, BU!”
Sang
guru langsung kembali duduk dan mencatat nilai. Kelas mulai sedikit tenang.
Namun tak sedikit yang masih tertawa dan men-cie-i Dharma.
“Ya, Dharma silakan
duduk. Karena kejadian barusan nilai kamu saya kurangi, menjadi enam.”
Azri menatap Dharma yang mulai duduk dengan tatapan iba.
Namun sesaat kemudian Dharma menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Ia jadi tidak
tau harus bagaimana menghadapi lelaki aneh itu.
------------------------------
[23-03-2014]
[23-03-2014]
Akhirnya
gue harus menjalani misi ini. Ini memang yang terbaik. Gue ngga boleh tenggelam
dalam perasaan. Gue harus menjauh. Harus biasa aja. Harus.
***
Azri
masuk ke kelas dan mendapati kelas yang masih sepi. Ia mengambil tempat
duduknya di kanan depan. Sambil merebahkan tubuhnya pada kursi kelas, ia
mengeluarkan tugas praktikum yang kemarin diberikan oleh guru Fisikanya. Azri
memeriksa kembali tugas kelompoknya, mulai dari cover. Matanya mendapati nama
Dharma yang tertulis rapi disana. Ia tersenyum kecil. Ia dan Dharma sering
ditempatkan satu kelompok, mereka satu kelas dan juga satu ekskul. Azri
tersenyum membayangkan kebetulan yang selalu menempatkan mereka.
Keasyikan melamun, ia tau-tau mendapati Dharma yang
ternyata sudah duduk manis di kursinya sambil bermain handphone. Tumben tidak
menyapa, batin Azri. Azri mencoba menghampiri Dharma di tempatnya -berniat
menanyakan tugas kelompok mereka-. Setelah sampai, ia duduk di depan Dharma.
Dharma masih asyik dengan handphonenya. Tak menghiraukan Azri yang sudah berada
tepat di depannya.
“Ekhem,” dehem Azri. Dharma menaruh handphonenya dan
menyaut. “Kenapa?”
“Tugas yang kemarin udah saya selesain.”
“Oh, yaudah.”
“Tolong nanti dikoreksi lagi, ya.”
Dharma mengangguk. “Nggak ada yang mau diomongin lagi kan?”
Azri terkejut. Kemudian menggeleng dan langsung kembali ke tempatnya. Ia merasa aneh dengan sikap Dharma yang sekarang.
“Tugas yang kemarin udah saya selesain.”
“Oh, yaudah.”
“Tolong nanti dikoreksi lagi, ya.”
Dharma mengangguk. “Nggak ada yang mau diomongin lagi kan?”
Azri terkejut. Kemudian menggeleng dan langsung kembali ke tempatnya. Ia merasa aneh dengan sikap Dharma yang sekarang.
~
Jam
istirahat tiba. Azri menyadari Dharma yang menatap ke arahnya sejak jam
pelajaran tadi. Tapi ia bingung dengan sikap Dharma yang sekarang berubah itu.
Dahulu manis, sekarang pahit. Ia juga bingung dengan perasaan aneh yang hatinya
rasakan. Apa ia menyukai Dharma? Huh.
Tak lama ia melihat Dharma melangkah ke tempatnya. Azri
memutar tubuh menghadapnya. Tapi ternyata setelahnya, Dharma bukan menuju ke
tempatnya, melainkan menuju ke meja Farah yang berada tepat di belakang
mejanya. Azri menahan napas.
“Far, gue boleh minjem catatan Fisika yang minggu kemaren nggak?”
Azri masih menyimak pembicaraan Dharma dengan Farah.
“Yah, gue nggak lengkap Dhar, sorry.”
“Yah..”
Azri menoleh ke arah mereka, “punya saya lengkap Dhar. Mau pinjem?”
Dharma menggeleng, “nggak usah, makasih zri.” Kemudian pergi.
Azri menyentuh dadanya yang mulai terasa... sesak.
“Far, gue boleh minjem catatan Fisika yang minggu kemaren nggak?”
Azri masih menyimak pembicaraan Dharma dengan Farah.
“Yah, gue nggak lengkap Dhar, sorry.”
“Yah..”
Azri menoleh ke arah mereka, “punya saya lengkap Dhar. Mau pinjem?”
Dharma menggeleng, “nggak usah, makasih zri.” Kemudian pergi.
Azri menyentuh dadanya yang mulai terasa... sesak.
------------------------------
[17-06-2014]
[17-06-2014]
Berjalan
seperti yang seharusnya. SpiDharman, lu selama ini memang gue khususkan untuk
menulis tentang cewek itu. Tapi setelah gue menjauh dari dia gini, mungkin lu
emang harus diarsipkan aja. Makasih udah jadi pendengar pembaca
penyimak setia gue selama beberapa waktu ini. Gue perpisahan sama lu, pertanda
perpisahan sama dia juga. Gue nanti jadi paskibraka dan dia pasko, kita nggak
ketemu lagi. Soal kelas juga kita udah nggak sekelas lagi. Good bye,
SpiDharman. Jangan nangis loh. Cukup dia aja yang gue bikin nangis. Lu jangan.
***
“Wah
Dhar, selamat ya pengibaran di kota!” seru Cacha heboh. Dharma tersenyum. “Iya,
semangat juga ya kalian, pengibaran di mana aja sama kok.”
Azri menatap Dharma yang mendapat banyak ucapan selamat. Dalam hati ia sangat ingin mengucapkan juga, tapi gengsi menahannya. Tidak, bukan gengsi, keadaan yang memaksanya untuk tidak melakukannya. Lagipula Dharma sudah tidak peduli dengannya.
Azri menatap Dharma yang mendapat banyak ucapan selamat. Dalam hati ia sangat ingin mengucapkan juga, tapi gengsi menahannya. Tidak, bukan gengsi, keadaan yang memaksanya untuk tidak melakukannya. Lagipula Dharma sudah tidak peduli dengannya.
Azri
melangkah keluar dari perkumpulan paskibra di sekolahnya. Ia duduk di kursi
yang dinaungi payung besar. Mencari ketenangan. Azri mengeluarkan binder
hijaunya. Ia mulai berbisik kecil.
‘Ya Allah, apa kebetulan kita cuma sampai disini?
Jujur, aku nggak rela...’
Jujur, aku nggak rela...’
Azri mulai terisak. Ia
memutar kembali kenangannya.
‘Terus maksudnya sikap dia selama ini apa? Dia cuma mau mainin
aku? Tega...’
Isakan Azri semakin
hebat. Ia menutup mulutnya. Tak ingin terdengar siapapun.
‘Aku nggak rela, nggak ikhlas, kenapa Engkau beri aku
perasaan ini?’
Azri mengelap air
matanya, dari jauh ia melihat teman-temannya sedang melakukan sesuatu. Ia harus
kembali kesana.
Tanpa
ia sadari, sedari awal bukan ia sendirian yang keluar dari perkumpulan tadi.
Dari jarak beberapa meter, Dharma memperhatikannya dan mendengar semua keluh
kesahnya. Dan menahan sesak di dadanya.
-------
‘Tok
tok tok’
Azri
terbuyar dari lamunannya. Ia melirik ke arah jam dinding. Jam sepuluh lewat
lima menit.
“Azri...”
Azri
cepat-cepat membuka pintunya. Di hadapannya, Bella sedang memasang wajah super
bete-nya sambil membawa nampan berisi makanan.
“Dari tadiii, kamu aku
panggil buat makan bareng. Nggak nyaut nyaut! Ngapain aja, sih?”
Azri mesem-mesem.
“Lagi serius, Bell.”
“Gimana, udah kelar?”
“Udah.”
“Udah nemu alasannya?”
“Belom. Apaan, cuma
potongan-potongan nggak jelas.” ujar Azri sewot.
“Kamu baca yang mana
emang?”
“Ya dari awal, sampe
dia memutuskan menjauh. Nggak tertulis dengan jelas juga tentang perasaan dia.”
Bella heran. “Sini
mana coba bukunya? Kamu makan dulu, udah aku bawain nih.”
Azri
akhirnya makan makanan yang dibawa Bella. Padahal sudah jam sepuluh malam. Tapi
tak apalah, ia juga sangat lapar...
Di hadapannya, Bella sedang serius membolak-balikkan halaman buku -SpiDharman tentunya- sambil menunggu Azri menyelesaikan makannya.
Di hadapannya, Bella sedang serius membolak-balikkan halaman buku -SpiDharman tentunya- sambil menunggu Azri menyelesaikan makannya.
“Udah?”
Bella bertanya sambil menguap.
“Udah,” jawab Azri sambil meminggirkan nampannya. Ia mulai serius lagi.
“Nihh. Aku tuh baca buku ini dari belakang sedangkan kamu bacanya dari depan. Makanya kita nggak ketemu. Aku jadi pengen nyanyi lagunya Tulus yang judulnya Pamit itu deh,” Bella bersiap-siap bersenandung namun dicegah Azri. “Jadul,” kata Azri. “Tadi aku baca kayaknya udah kosong deh. Maksudnya udah nggak ada lanjutannya lagi,” sambungnya.
“Udah,” jawab Azri sambil meminggirkan nampannya. Ia mulai serius lagi.
“Nihh. Aku tuh baca buku ini dari belakang sedangkan kamu bacanya dari depan. Makanya kita nggak ketemu. Aku jadi pengen nyanyi lagunya Tulus yang judulnya Pamit itu deh,” Bella bersiap-siap bersenandung namun dicegah Azri. “Jadul,” kata Azri. “Tadi aku baca kayaknya udah kosong deh. Maksudnya udah nggak ada lanjutannya lagi,” sambungnya.
“Nah
itu abang emang rada-rada. Ini halamannya dilewat jauh maksudnya apa coba,”
ujar Bella sewot. “Tapi emang karena tanggalnya yang kelewat jauh sih kayaknya.
Selamat baca lanjutannya ya, aku balik ke kamar dulu. Good night,” sambungnya
sambil berlalu dan menyerahkan buku itu pada Azri. Azri menerimanya pasrah,
dengan penuh rasa penasaran.
“Udah! Baca lagi aja sampai selesai! Ada surat juga disana!
Cie~” seru Bella dari luar pintu kamar Azri. Dasar cenayang.
Azri menutup rapat pintu kamar dan mulai membuka buku itu lagi.
Azri menutup rapat pintu kamar dan mulai membuka buku itu lagi.
“Bismillah.”
------------------------------
[11-04-2016]
Hai SpiDhar-man.
Lama nggak jumpa ya.
Dikit lagi gue lulus SMA.
Ohiya entah kenapa akhir-akhir ini gue ngerasa kayak bersemangat, ya?
Soal cewek itu, sampai sekarang kita nggak sekelas lagi. Tapi sekarang gue mencoba untuk biasa aja dan nggak menghindar lagi.
Ternyata nggak ada yang salah dari perasaan ini. Nggak ada yang salah dari jatuh cinta lagi. Dan nggak perlu takut untuk terluka lagi, karena terluka itu cuma salah satu resiko dari jatuh cinta. Kadang manfaatnya lebih banyak dari resikonya. Tinggal dari sisi bagaimana kita mau mengubah rasa cinta itu. Entah positif atau negatifnya, tergantung tiap-tiap individu.
Dan sekarang -setelah pemikiran yang amat sangat panjang dan banyak pertimbangan- gue jadi berpikir menjadikan 'cinta' itu sebagai motivator. Gue jadi lebih bersemangat untuk ngejar cita-cita gue.
Lama nggak jumpa ya.
Dikit lagi gue lulus SMA.
Ohiya entah kenapa akhir-akhir ini gue ngerasa kayak bersemangat, ya?
Soal cewek itu, sampai sekarang kita nggak sekelas lagi. Tapi sekarang gue mencoba untuk biasa aja dan nggak menghindar lagi.
Ternyata nggak ada yang salah dari perasaan ini. Nggak ada yang salah dari jatuh cinta lagi. Dan nggak perlu takut untuk terluka lagi, karena terluka itu cuma salah satu resiko dari jatuh cinta. Kadang manfaatnya lebih banyak dari resikonya. Tinggal dari sisi bagaimana kita mau mengubah rasa cinta itu. Entah positif atau negatifnya, tergantung tiap-tiap individu.
Dan sekarang -setelah pemikiran yang amat sangat panjang dan banyak pertimbangan- gue jadi berpikir menjadikan 'cinta' itu sebagai motivator. Gue jadi lebih bersemangat untuk ngejar cita-cita gue.
***
Azri sedang berdiri di balkon depan kelasnya. Ia menatap jauh ke
bawah untuk melihat siapa saja yang datang. Kebiasaan ini sudah ia mulai sejak
kelas tiga. Berdiri melihat pemandangan sebelum jam masuk menjadi favoritnya.
Ralat, berdiri memandangi Dharma yang berjalan dan nantinya akan menatap ke
arahnya-lah yang menjadi favoritnya.
“DORR!”
“Duh nggak usah
ngagetin deh, Jli. Kaya nggak ada kerjaan aja.”
Uzli terkekeh. “Oh iya
Zri, Dharma SNMPTN ambil UI loh.”
Azri tercengang.
“Serius?”
Uzli mengangguk
mantap. “Udah gitu kata temen-temen sekelasnya dia sekarang banyak peningkatan
dari belajarnya. Nilai-nilainya bagus.”
“Bagus, dong.”
“Kayaknya dia
terinspirasi lu deh, Zri. Lu kan ranking paralel,” simpul Uzli. Azri
mengibas-ngibaskan tangan sambil memberi tatapan nggak-usah-mikir-yang-aneh-aneh-deh.
“Tapi bener kan? Coba
lu telaah lagi, Zri.”
“Tau ah, gue nggak tau
perasaannya dia.”
“Gue aja yang
sahabatnya nggak tahu! Hatinya dia lempeng banget kayaknya. Selama ini
dicie-ciein sama siapa aja selaw aja. Kapan-kapan gue tanyain perasaannya ah.”
Azri mengabaikan
perkataan Uzli barusan karena terfokus pada Dharma yang sedang berjalan di
bawah.
“Dhar!” seru Uzli
tiba-tiba.
Azri
hampir saja ingin menyumpah serapahi Uzli kalau Dharma tidak menengok dan
melambai-lambai ke arah mereka. Senyumannya yang dalam sedetik langsung
menghipnotis Azri.
Benarkah Azri-lah alasan ia menjadi semangat belajar? Azri tidak peduli lagi. Yang ia pedulikan saat ini adalah alasan mengapa senyum seseorang di bawah sana selama tiga tahun terakhir ini selalu punya kekuatan magis.
Benarkah Azri-lah alasan ia menjadi semangat belajar? Azri tidak peduli lagi. Yang ia pedulikan saat ini adalah alasan mengapa senyum seseorang di bawah sana selama tiga tahun terakhir ini selalu punya kekuatan magis.
-------
Azri membalik halaman buku tersebut. Sebuah amplop
terjatuh keluar. Azri meraihnya dan membukanya perlahan. Ada selembar surat di
dalamnya. Tidak, bukan selembar melainkan dua lembar surat. Yang pertama sangat
familiar dan yang kedua sangat asing bagi Azri. Azri mencoba mengabaikan
surat-surat itu dan kelanjutan buku Dharma. Tapi begitu tanggal yang terlihat
di kelanjutan tulisannya sangat jauh... ia menahan untuk lanjut dan memutuskan
untuk membaca surat-surat itu terlebih dahulu. Pertama, surat yang cukup asing
buatnya...
Azri menutup mulut tak percaya. Dharma ternyata
menyukainya. Cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi kenapa Dharma tidak
memberikan surat itu? Azri mencoba mengingat-ingat kejadian di hari itu... Ahh.
Perpisahan!
***
[02
Juni 2016]
(10.37
WIB)
Azri celinguk kanan-kiri
mencari sosok tinggi nan gagah (halah halah). Hari ini ia sudah memberanikan
diri, membulatkan tekad untuk memberitahu perasaannya. Ya, ia ingin semua
tuntas dan tak ada lagi yang mengganjal hatinya. Di tangannya, ia sudah
menggenggam surat yang ia buat khusus untuk menumpahkan keluhan hatinya. Ia
menerka-nerka bagaimana respon Dharma nantinya, dan ia merinding. Hatinya jadi
bertanya-tanya, jadi atau tidak, yaa?
Saat
sedang kebingungan mencari-cari sosok nan tinggi itu, tiba-tiba di hadapan Azri
sesosok yang dicarinya muncul.
“Emm..” Azri kebingungan mengumpulkan kata-kata.
“Azri?” Dharma memanggilnya. Azri kebat-kebit, ia belum siap memberikan suratnya,
tapi kalau tidak sekarang.. kapan lagi.
“Dharma, jas kamu bagus,” ujar Azri memulai
percakapan. Jadi terdengar aneh.
“Dhar.” “Zri.” Mereka berucap berbarengan.
“Kamu dulu,” ujar Azri. Dharma gugup, tangannya dalam
posisi istirahat di tempat, mungkin menyembunyikan sesuatu? Azri sendiri sudah
nerveous tak karuan, tak terpikir apa yang Dharma sembunyikan di balik
tubuhnya.
“Azri, ayo foto sekelas!” seru salah satu teman
sekelas Azri. Azri sadar, waktunya dengan Dharma tidak banyak. “Dhar... ini,
baca ya,” Azri langsung memberi surat dan beranjak pergi, Dharma seperti ingin
mengatakan sesuatu tapi tak sempat. Azri sudah berlalu.
-------
[29
Desember 2023]
(00.15
WIB)
Tengah malam di kamar, Azri masih memikirkan kejadian
surat menyurat itu. Ahh, kenapa ia tidak terpikir kalau waktu itu Dharma juga
ingin mengatakan sesuatu. Dan kalau Dharma memang benar menyukainya... kenapa
ia tidak menunjukkannya dan malah membuat Azri setengah mati menerka-nerka?
Banyak tanda tanya lainnya di benak Azri. Dan sepertinya ia mulai merasa rindu
sosok suaminya itu.
‘drrt.. drrt.. drrt.. drrt.. drrt..’
Azri merasakan ada getaran, entah darimana asalnya. Ia
mengabaikannya.
‘drrt.. drrt.. drrt.. drrt..’
Getarannya masih belum berhenti, ia meraba saku
ponselnya. Dan ia mengingat sesuatu, ponselnya ia matikan dari tadi pagi. Lalu
itu getaran dari mana?
‘drrt.. drrt.. drrt..’
Azri melihat sekeliling. Huala! Ternyata ponsel Bella
tadi tertinggal di kasur Azri. Sekarang getarannya sudah berhenti. Azri ingin
membuka ponselnya tapi takut itu adalah suatu hal yang privasi.
‘drrt.. drrt.. drrt..’
Ponselnya berbunyi kembali. Siapa yang menelpon tengah
malam begini? Karena iseng, Azri melihat ke layar untuk melihat nama penelpon.
Di layar, tertera nama ‘Abang’. Hmm ternyata abangnya.
Tunggu, abang? Berarti Dharma yang menelpon kan? Tanpa
ba bi bu Azri mengangkat telponnya, toh ini suaminya sendiri.
“Halo.”
“Ini
dengan saudara Bella?”
Azri sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya. Kenapa
suara orang asing?
“Iya
ponsel ini milik Bella tapi tertinggal di tempat saya. Ada yang bisa saya
bantu?”
“Oh,
begini, maaf mengganggu waktu istirahat saudara. Kami dari pihak kepolisian.”
DEG.
“Emm..
kalau boleh tahu ada apa ya, Pak?”
“Begini,
saudara Dharma dengan plat nomer mobil B 3901 UH baru saja mengalami kecelakaan
di Jalan Kemangi Raya dan baru dilarikan ke Rumah Sakit Parahyangan. Demikian
kami informasikan, dugaan kecelakaan masih dalam penyelidikan pihak berwajib.”
DEG. DEG.
Azri langsung bangkit dari kasur dan hendak menuju
kamar Bella. Ia melirik jam dinding, jam dua belas lewat setengah jam, apa
tidak apa-apa mengganggu waktu istirahat Bella? Tapi, ini lebih penting! Ia
harus memanggil Bella.
“Halo?
Apa masih tersambung?”
“Iya,
Pak. Terima kasih atas informasinya. Saya akan kabari pihak keluarga
secepatnya.”
Azri memutus sambungan teleponnya. Ia harus bergerak
cepat.
~
Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Azri tak henti
menangis. Bella mencoba menenangkan, walaupun rautnya juga menunjukkan
kecemasan.
“Kalo
Dharma kenapa-napa gimana, Bel?” Azri menatap Bella dengan tatapan yang kacau.
“Everything is gonna be alright, oke?”
Bella masih terus meyakinkan Azri. Pikiran seorang wanita yang kacau, takkan
bisa tenang hanya dengan kata-kata. “Loh kamu bawa buku diari abang?” tanya
Bella mendapati Azri yang masih memeluk erat buku itu. Azri menangguk, “aku
belum selesai bacanya”. “Masih banyak?”. Azri menggeleng, “tinggal satu diari
lagi yang terakhir”. “Mau dibaca sekarang, nggak? Bareng?” tanya Bella sambil
mengulas senyum tipis. Azri –masih di tengah air matanya- mencoba tegar dan
tersenyum. Ia membuka halaman terakhir buku itu. Tulisan yang cukup baru,
sekitar enam bulan lalu.
------------------------------
[12-06-2023]
[12-06-2023]
Gue baru ngelamar dia. Dan dia nerima gue. Akhirnya
nggak lama lagi kita halal. Spi-Dharman, sampai sekarang gue nggak nyangka ini
akan datang di masa hidup gue. Terima kasih udah nemenin perjalanan hidup gue
sama dia. Walaupun sampai sekarang masih kebayang deg-degannya baca surat cinta
dari dia. Lucu, ya? Gue bahkan nggak sempet ngasih surat itu ke dia. Semoga aja
dia yakin kalau gue suka sama dia. Kita saling suka tapi ribet gini.
Untuk selanjutnya, gue janji akan jaga dia dengan
sepenuh hidup gue. Gue romantis kan, Spi? Romantis banget emang.
Udah ya, sekarang lu bener-bener akan di arsipkan di
kamar lama gue. Gue nggak mau bawa-bawa lu ke rumah kita berdua nanti. Maaf
maaf aja ya soalnya lu alay.
Dari yang pernah sepenuh hati menumpahkan isi hatinya
kepadamu, Spi.
-
Dharma.
-------
Azri dan Bella tersenyum haru –masih disela isakan-
membaca tulisan Dharma. “Tuhkan, dia nikahin kamu karena dia beneran sayang
kamu,” simpul Bella. Azri mengiyakan. “Gimana rasanya kabur dari dia?”. Azri
merenung, ia sedikit menyesal sejujurnya, “kangen”. “Abis ini jangan
kabur-kaburan lagi, ya!” saran Bella dijawab anggukan Azri. “Eh tapi, masih di
topik awal, dia belum nyentuh aku loh, kenapa ya?”
Bella sok berpikir. “Baru juga sebulan. Masih mikir
kali dia. atau mungkin dia menunggu momen yang tepat...”
“Misalnya?”
“Ulang tahun kamu? Ulang tahun kamu kapan?”
“29 Desember.”
“Waw! Selamat ulang tahun, Azri!”
Azri terbengong. Ia baru sadar sekarang hari ulang
tahunnya. “Ya Allah, Bell. Aku sampe nggak sadar tanggal. Makasih ya,”
Bella mengangguk. Masih penasaran. “Coba aku mau liat
surat yang kamu kasih ke dia dong? Aku belum baca. Terus ceritain juga awal
mula dia ngelamar kamu?”.
“Oke, soal surat, ini...” ujar Azri sambil
mengeluarkan surat familiarnya dari buku Dharma.
“Wauw, apa dia rasa ya dapet surat kayak gini dari
kamu?” tanya Bella dan hanya dijawab kekehan oleh Azri.
‘drrt.. drrt.. drrt...’
Ponsel Bella bergetar, ia segera mengangkatnya. “Halo?”
“...”
“Iya,
lalu?”
“...”
“Oke
terimakasih, Pak.”
Bella menutup ponselnya dan memasukkannya ke kantong.
Kemudian berbisik ke suaminya yang sedang menyetir di depan. Azri memperhatikan
mereka sekilas dan merasa sedikit iri.
“Oke sampe mana tadi?”
tanya Bella datar. Azri bingung. “Hmm.. lamar?”. “Ohiya coba dong cerita, aku
selama ini nggak pernah tau gimana dia sama perempuan yang dia suka. Dia emang
tertutup banget, aku adiknya sendiri aja nggak tahu. Payah ya?” tutur Bella,
entah mengapa kata itu terdengar polos dan jujur sekali, bahkan mata Bella
berkaca saat mengatakannya. Azri mengangguk dan mulai bercerita.
“Jadi
awalnya setelah kejadian kelulusan itu kita nggak pernah ketemu lagi. Terus
beberapa tahun kemudian, setelah reuni, kita ngobrol tuh. Dan habis itu kita
cerita apa-apa yang pernah kita laluin selama ini dan yaudah abis itu kan biasa
lagi tuh. Eh setahunan kali ya, dia ngajak makan tuh pas jam istirahat kantor.
Terus dia ngasih cincin ke aku sambil bilang, ‘kamu mau nggak sama aku?’. Terus
aku mikir dulu kan ya, sebulan baru aku kasih jawaban. Akhirnya berlangsunglah
lamaran dan kemudian pernikahan. Sampe sekarang ini, aku kabur dari dia, hehe,”
ujar Azri panjang lebar. Bella sedikit terkekeh, walau matanya masih
berkaca-kaca.
“Kita
mau ke RS. Parahyangan? Kok jalannya kesini ya? Kayak ke rumah?” kata Azri.
Bella mengerutkan dahi. “Masa sih?”. Bella berbisik kepada suaminya sekilas,
lalu sang suami mengangguk. Azri masih keheranan. “Ini ke rumah kan? Nggak jadi
ke rumah sakit atau gimana?”. Bella termenung sebentar, “Hmm iya, udah
dipulangin.”
Azri menghela napas,
ternyata sudah dipulangkan. Azri tak perlu khawatir. Rangga berusaha memarkirkan
mobil di sebelah mobil flat merah, sementara Azri bersiap turun. Bella masih
terdiam di posisinya. “Bel, kamu nggak turun?” tanya Azri. “Emm, kamu aja dulu,
selesain masalah kalian, aku nyusul,”. “Oke, aku turun dulu.”
Azri melepas sepatunya
dan masuk ke rumahnya. Di pintu ia dihadang salah seorang polisi. “Suami saya
ada di dalam, Pak?” tanya Azri. Sang polisi mengangguk, kemudian mengatakan
sesuatu, “Ini barang yang tertinggal di lokasi TKP”. Azri menerima bungkusan,
kemudian si polisi berlalu. Azri membuka isinya, sebuah kado. Ah! Dharma bahkan
mengingat ulangtahunnya. Tapi apa yang
ia lakukan tengah malam begini sampai celaka? Azri bergegas masuk. Tapi
langkahnya tertahan, ia mendapati teman-teman Dharma berkumpul.
Kenapa mereka menangis?
Azri bersumpah ia tak mau mendengar hal yang buruk. Demi
apapun ini hari ulang tahunnya.
“Azri, Dharma menghembuskan nafas terakhir tepat jam
dua belas.”
Sebuah
kalimat dari Firman, membuat Azri langsung terduduk lemas seketika. Seorang rekan
Dharma dan Azri, Farah, menghampiri Azri. “Kamu gapapa?”. Azri terdiam. Farah mengutuki
perkataannya barusan. Bagaimana mungkin seseorang yang baru saja menyadari
tulusnya cinta sang suami dan tiba-tiba ditinggalkan seperti ini akan merasa
baik-baik saja?
Azri menangis, Farah masih terus menemaninya. Selang sepuluh
menit Azri terisak. “Far, aku mau liat jenazahnya”. Farah mengangguk, “ayo, di
kamar kalian.”
Azri melihat tubuh
panjang itu terbaring tertutup kain batik, ia tak sanggup menahan tangis lagi. Tangisannya
pecah memenuhi ruangan. Rekan-rekan yang lain hanya terdiam kaku –tak tahu
harus bagaimana lagi-. Mereka tidak merasakan penderitaan Azri. “Kenapa kamu
tinggalin aku, Dhar? Kenapa kamu tega?”
Azri membanting kado dari
Dharma yang sedari tadi ia pegang. “Aku nggak butuh ini! Ambil lagi ini! Aku mau
kamu balik lagi... AKU CUMA MAU KAMU, DHAR!”. Sebuah kertas jatuh dari kado
tersebut. Azri memungut kertas itu. “Kamu sempet nulis ini? Balik Dhar, aku mau
baca ini sama kamu”. Rekan-rekan lain yang hadir, seperti Novrina mulai ikut
terisak. Sebenarnya Azri tidak tahu kenapa teman-teman Azri dan Dharma bisa
disini tiba-tiba tengah malam begini. Azri tidak peduli, ia masih terus
terisak.
Selang
dua puluh menit Azri mulai tenang. Farah menghampiri Azri. Hening sebentar. Farah
mulai bercerita. “Zri? Tau nggak kenapa kita disini? Kita diminta dateng untuk
rayain ulang tahun kamu. Dharma bilang ini hari yang paling special buat dia.
Tadi dia pergi buat nyari kamu, dan nggak beruntung. Dia malah jadi korban
tabrak truk dari lawan arah.”. Tak lama, Novrina menghampiri Azri dan Farah
sambil membawa kue. “Ada atau enggak dia, pesan dia harus tetep kita laksanain.
Tiup lilin, Zri,” ujar Novrina. Azri berkaca-kaca menahan tangis sebisa
mungkin. Ia meniup lilinnya, harapannya
tetap satu, walau tak mungkin, ia hanya ingin Dharma kembali. Ia berjanji tak
akan pergi lagi.
Setelah
tiup lilin, suasana kembali hening. Azri memandang surat dari Dharma tadi, ia
memutuskan untuk membacanya.
Ia kembali menangis (mungkin karena susah membaca
tulisan Dharma yang kecil itu).
Suara pintu kamar terbuka, Bella memasuki kamar. Mengambil
posisi dekat jenazah Dharma. “Bang, bangun! Azri udah tau tuh kalo selama ini
lu tulus sama dia.” Bella memulai ocehannya dengan mata berkaca-kaca. “Bangun
hey. Bodoh! Bodoh lu nyia-nyiain dia sampe akhirnya dia pergi. Bodoh!”
Azri kembali terisak. Untuk
saat-saat seperti ini sepertinya ia tak mampu berbuat apapun selain menangis. Bella
menghampirinya. “Gimana rasanya kehilangan dia?”. Azri terdiam. Bella menambahkan,
“apa kalian berdua harus disadarkan sama kehilangan dulu, baru ngerti seberapa
berharganya kalian masing-masing, hah?”. Bella benar, Azri harus disadarkan
dengan kehilangan sehingga dia tahu seberapa kacau hidupnya tanpa Dharma. Dan Dharma,
baru menyadari pentingnya Azri setelah ditinggalkan. Sungguh klise.
“Satu
yang nggak pernah aku tahu, selama ini Dharma emang tulus sama aku,” ujar Azri.
Suasana kembali menjadi hening, hanya suara napas masing-masing yang memenuhi
ruangan. Azri menambahkan, “Dan satu yang nggak pernah Dharma tahu, aku nggak
mau dan nggak akan pernah bisa hidup tanpa dia!”
TAMAT(?)
###
Warning! Cerita ini hanyalah FIKSI belaka. Alur, tokoh,
latar, hanyalah karangan penulis belaka. GAUSAH KEGEERAN, GUE GASUKA ORANG
KEGEERAN. Oke?
I dedicated this story for my bestie,
Dear Azri. Maafkan cerita ini yang terlewat ngaret:’)
Authornya abal-abal sih. Huhu, btw makasih yang udah baca. Maaf panjang. Maaf
kalo typo sana-sini. Maaf kalau ceritanya jelek, garing, gaseru, gaasik. Sekian
dan terimakasih~!