Sabtu, 27 Februari 2016

Mimpi (Flash Fiction by Allebiant)

Aku mengusap-usap kedua bola mataku. Ku raba dahiku yang mengeluarkan keringat dingin. Entah sejak kapan. Ku dudukkan diri di kasur pegas ini. Helaan nafas panjang tak lama terhembus dari mulutku.
Hanya mimpi.

Jelas sekali bagaimana kemarin sosokmu ku jumpai di sudut koridor kelas. Dingin. Membeku. Seolah menyimpan seribu kebencian yang tak pernah berani kau utarakan. Marahkah dirimu padaku? Apa sebenarnya salahku?

Lalu di tengah kebimbangan aku menuju tempat ibadah. Agamaku, juga agamamu. Ku ambil wudhu dan mulai menyeka wajahku dengan air. Dingin. Tapi sungguh ini tak seberapa dingin dibanding sikapmu padaku.

Lalu kulangkahkan kakiku menuju tempat sembahyang. Tunggu. Kenapa tasmu ada disitu?
Tanpa kesadaran ku lemparkan barang apa saja yang ada ke arah tasmu. Aku lepas kendali. Sungguh, aku lelah karena tidak mampu mengerti dirimu.

Tapi kau tiba-tiba muncul. Apa barang tadi mengenaimu? Maaf, aku tidak bermaksud. Hei! Kenapa kau menuju sudut ruangan itu. Dan apa kau benar-benar menangis?
Aku mendekatimu. Benar kau menangis?

“Tolong jangan menangis. Sakiti aku sepuas hatimu tapi jangan menangis. Tolong,”
Aku sudah memohon. Kau masih tetap menangis. Kenapa laki-laki sepertimu menangis di hadapanku?
Ku beranikan diri memegang kedua pipimu. Dingin telapak tanganku seorang terserap pipi basahmu. Kau berkeringat?

“Sakiti aku kalau itu bisa membuatmu puas,”
Ujarku dan kau mulai menamparku pelan. Sangat pelan. Apa itu puas?
“Lebih kencang lagi, sampai kau puas!”
Kau lebih bertenaga lagi sekarang. Ayo teruskan sampai dendammu habis.
“Terus!”
Kali ini tamparanmu terasa sakit. Legakah dirimu?

Aku baru menyadari tanganku masih berada di pipimu. Dan hei! Pipimu sudah tak berkeringat. Pertanda baik kah?
Senyum? Benarkah kau tersenyum. Senyuman dan tatapanmu yang begitu dekat ini mengapa terasa... indah? Aku membalas senyuman indahmu itu. Apa rasa dendammu padaku sudah hilang?
Adegan yang cukup lama ini... walau disaksikan semesta. Aku tak peduli. Sungguh aku sangat merasa lega.

Aku berdiri keluar meninggalkanmu. Membatalkan niatan awalku untuk beribadah. Aku sudah batal.

Sesampainya di luar aku diserbu pertanyaan oleh kawan.
“Hei apa kalian sudah berpacaran?”

Aku tertawa geli.

Aku berjalan terus tanpa arah meninggalkan kenangan. Berbahagia dengan ingatan. Berbagi cerita pada dunia fana. Hingga aku disadarkan oleh kenyataan.


Pagi menjelang. Dan semua hanya mimpi belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar