Jumat, 24 Juni 2016

A Thing You Never Know (CERPEN)

'Aku bagai berjalan di atas kerikil kehidupan
Semua jalan hidup katanya sudah dibukukan
Tapi aku merasa salah jalan
Bersamamu memang inginku, mimpiku
Tapi benarkah takdirku adalah mendampingimu?
Aku masih meragukan hal itu'
[28 Desember 2023]
(04.11 WIB)
Azri menutup buku hariannya. Ia tidak ingin menulis lebih banyak sajak keluhan lagi. Ia memasukkan buku hijaunya ke dalam tas jinjingnya. Sudah penuh. Ia terpaksa harus menaruhnya di laci. Lalu pandangannya beralih menatap wajah polos seorang lelaki yang sedang tidur di hadapannya. Tampan. Lugu. Ah, sangat berat baginya melepaskan lelaki ini. Lelaki yang sudah sepuluh tahun didambanya. Lelaki yang tiba-tiba dihadirkan Tuhan ke hadapannya setelah perpisahan panjang. Lelaki yang sebulan lalu meminangnya tanpa pernah ia ketahui alasannya. Lelaki misterius ini...
Azri mengangkut tasnya. Berat. Tapi tidak lebih berat dari beban hati yang ia rasakan selama sebulan mengarungi bahtera rumah tangga dengan Dharma. Ia membuka pintu kamar dengan hati-hati, memandang Dharma dengan sedih, lalu meninggalkannya.
'Maaf saya butuh waktu untuk berpikir. Juga kamu perlu waktu untuk memikirkan apakah tidak menyesal menikah dengan saya. Sebelum semua terlambat. Maafkan saya.'
(05.02 WIB)
Di depan loket kereta, Azri memilih tujuan. Haruskah ia pergi ke rumah orangtuanya? Oh, tidak. Ia tidak ingin orangtuanya jadi khawatir. Ia baik-baik saja. Ia hanya perlu waktu untuk berpikir jernih, dan siapa kiranya yang bisa ia datangi?
Azri berpikir sesaat dan kemudian pilihannya terjatuh pada...
'Ting nong'
Bel rumah kediaman seseorang dipencet oleh Azri. Penghuninya berlari cepat menuju pintu.
“Assalamu'alaikum.”
“Astaga! Kamu ngapain disini? Haa!! Abang mana?” Bella menengok kanan kiri memastikan keberadaan kakaknya. Azri langsung terisak di hadapannya. “Di rumah,” Azri menjawab sambil sesegukan. Bella semakin tidak mengerti. Akhirnya ia mempersilahkan Azri masuk.
“Oke kamu masuk dulu, aku mau mandi dulu, bau kue,” ujar Bella sambil berlalu.
“Kak Rangga sama Nat-Lit nggak di rumah?”
“Oh, kak Rangga sama temennya ngajak anak-anak jalan.”
Azri mengangguk. Ia menyeka air matanya tadi. Di ruang tamu ia memandang foto keluarga Bella. Pasangan Bella - Rangga dengan anak kembarnya yang umurnya baru dua tahun, Natri Umira dan Lithi Umira. Natrium dan Lithium. Azri tersenyum membayangkan kejadian ketika Bella dan Rangga berdebat menentukan siapa yang akan memberi nama untuk anaknya. Bella bertaruh kalau anaknya kembar, ia yang akan memberinya nama, sedangkan sang suami meyakini anak mereka tidak kembar. Ketika lahir anak kembar, Bella langsung menamai anaknya dengan apa yang sedang ada di fikirannya. Rangga yang sebenarnya tidak setuju karena merasa namanya aneh, terpaksa menyetujuinya.
Sebenarnya Azri sudah mengira kalau anak Bella pasti kembar, mengingat Bella dan Dharma adalah saudara kembar. Kembar yang tidak identik. Dharma tinggi dan Bella pendek. Dharma pendiam dan Bella cerewet. Dharma suka perempuan dan Bella suka laki-laki. Itu kalimat yang suka Bella lontarkan kalau sedang membahas Bella dan Dharma yang tidak ada mirip-miripnya.
“Maaf ya zri lama,” ujar Bella sambil duduk di hadapan Azri. Azri mengangguk. Bella langsung menyerang Azri, “Kamu harus cerita kenapa kamu bisa disini, dan kenapa nggak sama abang?”. Azri bercerita menahan air matanya yang akan tumpah.
(12.33 WIB)
“Oh, begitu ya...”
Azri mengangguk kecil. Ia sudah tidak menangis lagi. “Gini, Zri, aku tau banget tabiatnya dia. Dia nggak mungkin melakukan sesuatu tanpa alasan,” Bella mencoba meyakinkan Azri. “Dia nikahin aku tanpa alasan!” Azri ngotot. “Tapi bisa aja kan dia malu, atau merasa belum waktunya menyentuh kamu. Atau dia nggak normal, hehe,” Bella mencoba mencairkan suasana tapi dibalas tatapan tajam oleh Azri. “Oke dia normal! Tapi... tadi apa kamu bilang? Dia nikahin kamu tanpa alasan? Dia punya alasan tau!” Balas Bella ngotot. Kemudian berlalu dari ruang tamu.
Azri bingung menatap Bella yang tiba-tiba berlalu. Barusan Azri panjang lebar menceritakan sikap suaminya, yang sudah sebulan menikahinya tapi belum pernah menyentuhnya sama sekali. Ya, itu yang mengganjal perasaan Azri selama ini. Dharma meminang Azri tiba-tiba, tanpa ada hubungan pacaran. Dharma juga tidak pernah mengatakan perasaannya. Azri malah takut kalau selama ini Dharma kasihan terhadapnya sehingga memilih menikahinya. Itu keraguan yang selama ini ia rasakan.
“Zri, shalat Dzuhur dulu! Nanti aku kasih tau alasannya!” Bella berteriak dari kamarnya.
---
“Tas kamu berat juga yaaa...” ujar Bella sambil mengangkut tas Azri menuju kamar tamu. Azri mengikuti dari belakang. Bella tiba-tiba menghentikan langkah melirik Azri sekilas. “Kamu yakin mau nginap disini?” Bella melanjutkan langkahnya lagi, sambil mencari kunci. “Iya, dua hari mungkin”. Bella menghela nafas.
“Kenapa? Maaf ya Bell aku ngerepotin kamu,” sesal Azri. Bella membuka pintu mempersilahkan Azri merapikan bawaannya. “Bukannya gitu, kakak ipar... tapi kalau abang nanti nanya ke aku gimana?” tanya Bella sambil memperhatikan Azri yang mulai mengeluarkan bajunya. “Bilang aja kamu nggak tau, please,” mohon Azri. Bella mendesah. “Apa boleh buat.”
“Oh iya tadi katanya mau kasih tau sesuatu?”
(14.03 WIB)
Azri memandang sebuah binder bersampul Spider-man warna biru. Baru saja Bella memberikan benda itu kepadanya. Bella mengatakan bahwa dia menemukan buku ini saat beberapa waktu lalu membantu orangtuanya pindah rumah. Ia menemukan buku itu di kamar bekas kakaknya dulu, jadi sudah pasti itu adalah milik Dharma sang kakak. Bella mengatakan ia baru membacanya sebagian dan ia berpikir kalau Azri lah yang lebih pantas membacanya.
Kening Azri berdenyut. Ia ragu apa harus membacanya atau tidak. Membacanya sama dengan membawa diri masuk ke kenangan Dharma kan? Apa ia siap? Bukankah ia pergi untuk menjernihkan pikirannya? Apa setelah membaca ini pikirannya akan menjadi jernih atau semakin keruh? Entah. Yang jelas naluri penasaran sebagai seorang istri, membawanya masuk ke dalam kenangan lama suaminya.

------------------------------
[27-09-2013]
Bro, gua ngga nyangka harga lo mahal juga sebagai seorang sebuah buku. Mulai hari ini lo harus jadi temen gue selayaknya dia dengan temennya yang hijau itu ya? Gua namain lu SpiDharman.
***
Seorang gadis berseragam SMA menutup bukunya begitu terdengar suara langkah kaki mendekat menuju mejanya.
“Hai,” ujar suara pemilik langkah, lelaki. Gadis itu mendongakkan kepalanya. “Kamu siapa?” tanya gadis itu dingin. Sang lelaki tersenyum simpul, tidak menjawab. “Itu apa?” dia balik bertanya menatap buku hijau di dekapan sang gadis. Si gadis mengamati si lelaki dari atas ke bawah. “Kenapa? Kita kan sekelas. Saya ketua kelas kamu.”
Gadis itu membulatkan mulutnya.

------------------------------
[30-09-2013]
Bro, sorry gua gabisa sering-sering ngisi lu. Gue sekarang sibuk banyak kerja kelompok. Iya, ada juga yang sama si cewek buku hijau. Lu mau gua kenalin sama buku hijaunya nggak? Kapan-kapan ya, bro.
***
“Sorry gue telat!”
Semua pasang mata yang datang memandang ke arah suara dari pintu masuk, terkecuali seorang gadis yang asyik dengan laptopnya. Si lelaki termenung menatap si gadis. “Woy, bengong! Sini masuk jangan di pintu aja, Dhar!” ujar salah satu teman menegur. Yang dipanggil Dhar segera masuk mengambil tempat di sebelah si gadis. “Bagian kerja saya yang mana?” tanyanya sambil lekat menatap si gadis. Si gadis balik menatap, ia terkesiap. “Nama kamu siapa?” tanyanya polos. “Dharma. Nama saya Dharma,” jawab Dharma tegas. “Ohiya. Dharma kamu edit slide satu sampai tujuh ya, nanti kalau udah panggil saya,” jawab si gadis sambil berlalu.
“Azri!” seru Dharma. Yang dipanggil langsung menoleh. “Kamu mau kemana?” sambungnya. “Duduk di ayunan luar,” jawab Azri singkat kemudian berlalu. “Saya ikut!” jawab Dharma sambil mengangkut laptop menuju ayunan depan. Anggota kelompok yang lain hanya menggeleng memperhatikan kelakuan ketua kelasnya yang belakangan ini aneh, namun sesaat kemudian kembali tenggelam dengan aktivitasnya.


------------------------------
[04-10-2013]
I'm trying to show my affection. Ini nggak salah kan, bro? Hari ini hari yang panjang...
Kita tabrakan. Kerja kelompok bareng (lagi). Piket bareng pertama kalinya. Pulang bareng? Hemm belum berani ngajaknya.
Hari yang berkesan. Apa dia ngerasa hal yang sama? I hope so.
***
Azri berlari menyusuri koridor menuju kelasnya yang letaknya hampir di ujung gedung. Tadi ia terlambat dan harus menjalani hukuman piket. Ia menyelesaikan hukumannya dan bergegas menuju kelas. Sudah pukul tujuh lewat seperempat jam. Pasti guru PPKn sudah memberi banyak materi. Guru itu sangat teliti dalam nilai kedisiplinan dan sejujurnya ia tak ingin terlambat di pelajarannya. Azri meraih gagang pintu kelasnya dengan cepat dan tiba-tiba...
‘Bruk’
Azri merasa dirinya terpental satu meter dari tempat asalnya. Ia meringis kesakitan. Di depannya terpampang sepasang kaki nan panjang. Azri menoleh ke atas. Laki-laki super duper tinggi yang menabraknya ini menawarkan tangannya untuk membantunya bangun. Azri menolaknya dan bangun sendiri. “Bukan muhrim,” tolak Azri. Dharma menarik kembali tangannya, seolah menyesal. “Saya minta maaf, buru-buru mau ke toilet,” ujar Dharma. Azri mencuri pandang ke kelas, “Guru PPKnnya nggak dateng ya?”. “Iya, kita dapat tugas kelompok”. Azri mengerut, “Kita?”. Dharma mengangguk. “Iya, kamu masuk ke kelompok saya. Sama Uzli, Dona, Lia. Gabung aja disana lagi ngerjain tugasnya,” jelas Dharma lalu meninggalkan Azri. Azri memandang langkah cepat Dharma yang mulai menjauh. Setelahnya, ia masuk kelas dan bergabung dengan kelompoknya.
“Wah sini Zri, kita udah ngerjain. Tinggal sedikit lagi coba dong revisi, tema kita Pancasila Sebagai Ideologi Negara,” ujar Lia sambil memberikan kertas tulisan tangan kelompok mereka. Tulisan-tulisan yang asing untuk Azri karena ia jarang mempedulikan teman sekelasnya. Azri membaca dengan serius. “Udah bagus, tapi ini udah selesai? Bagian aku apa?” tanya Azri yang merasa dirinya useless. “Tadi bagian lu dikerjain Dharma, Zri. Dharma nyuruh masukin nama lu ke kelompok kita dan dia yang bertanggungjawab atas kerjaan lu. Kita kira lu nggak bakal dateng makanya kita selesain cepet-cepet,” jelas Uzli. Azri mengangguk kecil. Ia merasa Dharma sangat peduli padanya. Atau dia peduli pada semuanya? Azri menggaruk-garuk kepalanya.
“Dharma baik banget ya sama Azri. Kalau gue yang nggak masuk apa dia bakal ngerjain tugas gue juga?” ceplos Dona yang dibalas kekehan oleh Lia. Uzli menoyor kepala Dona, “ngarep!” ujarnya. Azri tersenyum kecil.
Dharma kembali ke kelas, melangkah menuju tempat kumpul teman-teman sekelompoknya. “Udah selesai tugas kita?” tanyanya. “Udah. Lu yang kumpulin ya, Dhar,” ujar Uzli sambil beranjak kembali ke tempat duduknya. Disusul oleh Lia dan Dona. Azri berdiri dan menatap Dharma, ingin berterimakasih, tapi ucapannya tertahan. Dharma tersenyum lebar pada Azri. Azri menundukkan kepalanya dan langsung beranjak.
~
Jam pulang sekolah tiba, Azri merapihkan bukunya dan bersiap untuk pulang. Teman-temannya sudah mendahuluinya. Ia berpikir ia sendirian tetapi begitu ia menyadari ternyata ada seorang lain yang masih tersisa di kelas. Seorang lelaki yang membawa sapu. Azri memakai kacamatanya dan melihat lebih jelas siapa orangnya. Ternyata Dharma, dia piket sendiri?
Tanpa aba-aba Azri ikut mengambil sapu dan menyapu bagian belakang sementara Dharma menyapu bagian depan. Dharma terkejut menyadari keberadaan Azri. “Loh Azri, kamu kan jadwal piketnya bukan hari ini?”. Azri gagap, “Eh, emm habis nggak ada yang piket lagi,”
“Makasih ya,”
“Eh?”
“Iya, makasih udah bantuin saya piket.”
“Oh. Itu. Saya juga mau berterimakasih soal tugas PPKn yang tadi. Makasih ya.”
“Iya sama-sama.”
Azri menyerok sampah dan memasukkannya ke tempat sanpah. Bagiannya sudah selesai dan ia mengambil tasnya. Ia melihat Dharma masih sibuk dengan sampahnya. “Ekhem,” Azri mendehem, Dharma menoleh. “Duluan ya!” sambung Azri. Dharma mengangguk sambil tersenyum. Azri membalas senyumnya kikuk. Dharma mengamati langkah Azri yang mulai menjauh.

------------------------------
[21-10-2013]
SMA dan kegiatannya makin hari makin ribet ya. Gue capek. Terlebih sama ekskul yang sekarang. Tapi gue seneng juga sih, ada dia yang satu organisasi sama gue. Tapi... semakin kita deket, kenapa gue semakin takut ya?
***
Dharma berbaris di bawah terik matahari. Matanya menyipit kesilauan. Tangan dan kakinya bergerak sesuai komando sang pelatih.
“Hormaaat grak!”
Tangannya langsung bergerak hormat, menghormati sang saka yang mulai diturunkan dari pelatarannya. Setiap perjuangan pahlawan bagai terasa dalam setiap kepakan sang merah putih yang ditiup angin. Menerbangkan jiwa-jiwa nasionalis yang hampir punah di kalangan bangsa masa kini. Nurani Dharma yang nasionalis, tidak ingin semangat bangsa dalam menghargai pahlawan ini punah, maka dari itu, ia sangat ingin mengikuti Paskibra ini. Walau sepi peminat.
“Tegaaak grak!” Komando dari sang pelatih membuat para pasukan hormat menurunkan tangannya. “Tanpa penghormatan umum, balik kanan bubar jalan!” Pasukan pun bubar dari barisannya. “Kalian dipersilakan istirahat selama lima menit,” sambung si pelatih. Para anggota yang ada pun langsung melemaskan anggota-anggota tubuhnya.
“Bang?” tanya seorang gadis pada Dharma.
“Kenapa, Bel?” tanyanya singkat.
Bella bersuara pelan hampir berbisik, “jam berapa sekarang?”
Dharma mengambil jam yang ditaruh di kantung celananya. “16.15”
Mata Bella membulat. “Kok kita udah diistirahatin aja sih?” Bella bertanya tidak santai. Dalam hati Dharma mengiyakan. Tidak biasanya.
“Siap grak!” perintah sang pelatih membuat semua pasukan kembali ke posisi siap. “Berhubung kita akan mengadakan lomba dan kekurangan personil, mulai hari ini kita kedatangan beberapa anggota baru. Semua pasukan perhatian!”
Dharma melirik semua anggota baru dan matanya bertemu dengan sosok yang dikenalnya. Orang itu hanya menunduk. Benarkah orang itu?

------------------------------
[11-11-2013]
Latihan panjang dan lomba bareng udah selesai. Gue jadi semakin takut sama dia. Ketakutan akan hal yang sama seperti dulu.
***
“Wah selamat ya buat kita, juara dua. Seneng banget!”
Azri memandangi temannya yang baru datang di kelas sedang kegirangan, Cacha. Ia juga senang. Atas alasan lain tapi.
“Aku juga, nggak nyangka ya...” sahut Azri. Cacha masih kegirangan.
Dari radius beberapa meter ada seseorang yang sedang memandangi kebahagiaan mereka. Empati Azri membuatnya langsung menoleh dan mendapati seseorang menatapnya dengan tajam. Ia menunduk.
“Kenapa zri?”
“Nggak apa-apa.”
Cacha mengerutkan kening. Tidak mungkin tidak ada apa-apa. Azri memberanikan diri bertanya. “Cha, kamu kenal Dharma?”
Cacha tertawa sekilas. “Kenal lah. Patokan pasukan kita kan.”
Azri mendengus, “bukan itu.”
“Kamu ada apa-apa sama dia?”.
Azri merenung sejenak, lalu menggeleng. “Nggak.”
“Kirain ada apa-apa.”
“Emangnya kenapa kalau ada apa-apa?”
“Denger-denger sih dia dulu pas SMP terlibat cinta sama sahabatnya sendiri. Sempet pacaran. Tapi sampai sekarang belum move on kayaknya.”
Azri terkejut. Ia fikir Dharma tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa-siapa. Azri selama ini sudah salah paham soal Dharma. Ya, ia memang tak tahu apa-apa soal lelaki itu. Yang ia tahu, sikap lelaki itu kepadanya sangat aneh, dan... ia merasa getaran yang aneh juga tiap kali memikirkan lelaki itu. Ia harus segera menghapusnya.
“Kamu kenapa, Zri?” tanya Cacha heran melihat Azri yang mengibas-ibaskan tangan di kepalanya. “Eh?” Azri langsung menurunkan tangannya. “Gapapa. Aku ke toilet dulu, ya.”
Azri bergerak keluar kelas menuju toilet. Di koridor ia melihat Bella dan Dharma sedang berdebat di depan kelas Bella yang letaknya hanya di sebelah kelas mereka. Ia mencoba pura-pura tidak lihat dan buru-buru menuju toilet. Sampai kemudian...
“Hai Azri!”
Azri terpaksa membanting setir dan menatap yang memanggilnya barusan. “Hai, Bell.”
Ia melirik ke arah dua kakak beradik itu dan tatapannya bertemu dengan Dharma. Mata Dharma yang tajam, lurus dan dalam menembus matanya. Azri mengalihkan pandang, saking tak kuatnya.
“Nanti jangan lupa latihan, ya!” ujar Bella antusias. Azri tersenyum dan mengangguk kecil. Saat kembali menatap Bella sudut matanya menangkap tatapan Dharma lagi. Tatapan tajam itu maksudnya apa sih?
Oh tidak, ia lupa. Orang aneh ini punya wanita lain. Ia tak perlu pusing-pusing menebak maksudnya.

------------------------------
[13-01-2014]
Semester baru. Intensitas dia ngeliat gue makin sering. Gue bisa nggak tahan lagi.
***
“Hari ini kita koreksi ulangan yang kemarin ya. Farah sama Novrina tolong bagikan ulangannya, tapi jangan ke pemiliknya,” ujar guru Kimia sambil memberikan dua bagian kertas ulangan kepada yang disebut Farah dan Novrina tadi. Mereka masing-masing berpencar menuju sudut kanan dan sudut kiri kelas.
“Far, gue mau ngoreksi yang tulisannya bagus!” Pinta Uzli kepada Farah. Farah mendengus.
“No request. Ini kan pg nggak pake tulisan. Punya Azri aja nih.”
“Oke,” ujar Uzli sambil mengambil kertas dari tangan Farah, namun tiba-tiba tangannya dihadang tangan teman semejanya. “Punya Azri gue aja yang koreksi,” ujar Dharma singkat langsung mengambil kertas Azri. Farah dan Uzli berpandangan. Farah langsung memberi Uzli kertas milik teman yang lain. Tidak mau ambil pusing.
“Semua udah dapat lembar jawaban teman kalian kan? Sekarang koreksi dengan kunci yang ada di depan. Soalnya kan pilihan ganda dua puluh, cara nilainya jumlah betul tinggal dibagi dua saja. Lima menit lagi Ibu langsung absen nama teman kalian. Pengoreksi langsung sebutkan nilai. Cepat, nggak pake lama.”
Anak-anak di kelas langsung segera mengoreksi kertas yang mereka pegang. Maklum, guru Kimia mereka memang sangat tegas -mendekati galak- jadi mereka harus sigap kalau tidak ingin terkena semprot.
Dharma langsung mengoreksi lembar Azri. Hasilnya menakjubkan, hanya salah dua. Ia mencuri pandang ke arah Azri dan ketika ia menoleh ia mendapati Azri sedang memandanginya lekat-lekat. Kening Dharma mengkerut. Azri langsung menoleh ke arah yang lain.
“Kenapa Dhar?” tanya Uzli melihat Dharma yang celingukan.
“Gapapa Jli.”
“Dikit lagi nama lu disebut, pasang kuping.”
Dharma mengangguk.
“Dharma?”
“Enam koma lima, Bu.”
Dharma langsung menoleh ke sumber suara. Ternyata Azri yang mengoreksi jawabannya. Ia tersenyum kecil. Azri terlihat salah tingkah dan menunduk. Dharma berbalik menoleh ke arah Uzli sambil senyum-senyum kecil. “Kenapa?” interogasi Uzli yang curiga mendapati kelakuan aneh Dharma.
“Cakep.”
“Capep apaan?”
“Nilai gue,” jawab Dharma santai sambil senyum-senyum kecil. Uzli menyentuh kening Dharma, menilai apakah Dharma sudah mulai kurang waras. Sedari awal penyebutan nilai tadi, nilainya adalah yang terburuk.
“Apaan sih pegang pegang?” sewot Dharma sambil menyingkirkan tangan Uzli.
“Gue ngecek lu masih waras apa nggak.”
“Apa-apaan lu?!”
“Eh itu nama Azri udah dipanggil-panggil!”
“Siti Azri mana?!”
Dharma panik.
“SAYA SITI AZRI, BU!”
*hening*
Seisi kelas mulai tertawa. Bukan apa-apa, barusan Dharma tidak menyebutkan nilai dan malah teriak sambil berdiri dan menggebrak mejanya. Guru Kimianya pun terkejut. Sang guru langsung ikut berdiri.
“Kamu yang koreksi punya Siti Azri?!” tanya sang guru sambil menggebrak meja, meniru gaya Dharma tadi.
Dharma melirik ke arah Azri, yang ternyata sedang memperhatikannya.
“Iya, Bu!” jawabnya tegas. Masih berdiri menatap yakin sang guru.
“Berapa nilainya?!”
“Cakep, Bu!”
Seisi kelas sudah tidak bisa menahan tawa mereka lagi. Menyaksikan seorang guru dan murid berhadapan dan saling menyalak. Sang guru mulai geram.
“BERAPA NILAINYA, DHARMA?!”
“SEMBILAN, BU!”
Sang guru langsung kembali duduk dan mencatat nilai. Kelas mulai sedikit tenang. Namun tak sedikit yang masih tertawa dan men-cie-i Dharma.

“Ya, Dharma silakan duduk. Karena kejadian barusan nilai kamu saya kurangi, menjadi enam.”
Azri menatap Dharma yang mulai duduk dengan tatapan iba. Namun sesaat kemudian Dharma menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Ia jadi tidak tau harus bagaimana menghadapi lelaki aneh itu.

------------------------------
[23-03-2014]
Akhirnya gue harus menjalani misi ini. Ini memang yang terbaik. Gue ngga boleh tenggelam dalam perasaan. Gue harus menjauh. Harus biasa aja. Harus.
***
Azri masuk ke kelas dan mendapati kelas yang masih sepi. Ia mengambil tempat duduknya di kanan depan. Sambil merebahkan tubuhnya pada kursi kelas, ia mengeluarkan tugas praktikum yang kemarin diberikan oleh guru Fisikanya. Azri memeriksa kembali tugas kelompoknya, mulai dari cover. Matanya mendapati nama Dharma yang tertulis rapi disana. Ia tersenyum kecil. Ia dan Dharma sering ditempatkan satu kelompok, mereka satu kelas dan juga satu ekskul. Azri tersenyum membayangkan kebetulan yang selalu menempatkan mereka.
Keasyikan melamun, ia tau-tau mendapati Dharma yang ternyata sudah duduk manis di kursinya sambil bermain handphone. Tumben tidak menyapa, batin Azri. Azri mencoba menghampiri Dharma di tempatnya -berniat menanyakan tugas kelompok mereka-. Setelah sampai, ia duduk di depan Dharma. Dharma masih asyik dengan handphonenya. Tak menghiraukan Azri yang sudah berada tepat di depannya.
“Ekhem,” dehem Azri. Dharma menaruh handphonenya dan menyaut. “Kenapa?”
“Tugas yang kemarin udah saya selesain.”
“Oh, yaudah.”
“Tolong nanti dikoreksi lagi, ya.”
Dharma mengangguk. “Nggak ada yang mau diomongin lagi kan?”
Azri terkejut. Kemudian menggeleng dan langsung kembali ke tempatnya. Ia merasa aneh dengan sikap Dharma yang sekarang.
~
Jam istirahat tiba. Azri menyadari Dharma yang menatap ke arahnya sejak jam pelajaran tadi. Tapi ia bingung dengan sikap Dharma yang sekarang berubah itu. Dahulu manis, sekarang pahit. Ia juga bingung dengan perasaan aneh yang hatinya rasakan. Apa ia menyukai Dharma? Huh.
Tak lama ia melihat Dharma melangkah ke tempatnya. Azri memutar tubuh menghadapnya. Tapi ternyata setelahnya, Dharma bukan menuju ke tempatnya, melainkan menuju ke meja Farah yang berada tepat di belakang mejanya. Azri menahan napas.
“Far, gue boleh minjem catatan Fisika yang minggu kemaren nggak?”
Azri masih menyimak pembicaraan Dharma dengan Farah.
“Yah, gue nggak lengkap Dhar, sorry.”
“Yah..”
Azri menoleh ke arah mereka, “punya saya lengkap Dhar. Mau pinjem?”
Dharma menggeleng, “nggak usah, makasih zri.” Kemudian pergi.
Azri menyentuh dadanya yang mulai terasa... sesak.

------------------------------
[17-06-2014]
Berjalan seperti yang seharusnya. SpiDharman, lu selama ini memang gue khususkan untuk menulis tentang cewek itu. Tapi setelah gue menjauh dari dia gini, mungkin lu emang harus diarsipkan aja. Makasih udah jadi pendengar pembaca penyimak setia gue selama beberapa waktu ini. Gue perpisahan sama lu, pertanda perpisahan sama dia juga. Gue nanti jadi paskibraka dan dia pasko, kita nggak ketemu lagi. Soal kelas juga kita udah nggak sekelas lagi. Good bye, SpiDharman. Jangan nangis loh. Cukup dia aja yang gue bikin nangis. Lu jangan.
***
“Wah Dhar, selamat ya pengibaran di kota!” seru Cacha heboh. Dharma tersenyum. “Iya, semangat juga ya kalian, pengibaran di mana aja sama kok.”
Azri menatap Dharma yang mendapat banyak ucapan selamat. Dalam hati ia sangat ingin mengucapkan juga, tapi gengsi menahannya. Tidak, bukan gengsi, keadaan yang memaksanya untuk tidak melakukannya. Lagipula Dharma sudah tidak peduli dengannya.
Azri melangkah keluar dari perkumpulan paskibra di sekolahnya. Ia duduk di kursi yang dinaungi payung besar. Mencari ketenangan. Azri mengeluarkan binder hijaunya. Ia mulai berbisik kecil.
‘Ya Allah, apa kebetulan kita cuma sampai disini?
Jujur, aku nggak rela...’
Azri mulai terisak. Ia memutar kembali kenangannya.
‘Terus maksudnya sikap dia selama ini apa? Dia cuma mau mainin aku? Tega...’
Isakan Azri semakin hebat. Ia menutup mulutnya. Tak ingin terdengar siapapun.
‘Aku nggak rela, nggak ikhlas, kenapa Engkau beri aku perasaan ini?’
Azri mengelap air matanya, dari jauh ia melihat teman-temannya sedang melakukan sesuatu. Ia harus kembali kesana.
Tanpa ia sadari, sedari awal bukan ia sendirian yang keluar dari perkumpulan tadi. Dari jarak beberapa meter, Dharma memperhatikannya dan mendengar semua keluh kesahnya. Dan menahan sesak di dadanya.
-------
‘Tok tok tok’
Azri terbuyar dari lamunannya. Ia melirik ke arah jam dinding. Jam sepuluh lewat lima menit.
“Azri...”
Azri cepat-cepat membuka pintunya. Di hadapannya, Bella sedang memasang wajah super bete-nya sambil membawa nampan berisi makanan.
“Dari tadiii, kamu aku panggil buat makan bareng. Nggak nyaut nyaut! Ngapain aja, sih?”
Azri mesem-mesem. “Lagi serius, Bell.”
“Gimana, udah kelar?”
“Udah.”
“Udah nemu alasannya?”
“Belom. Apaan, cuma potongan-potongan nggak jelas.” ujar Azri sewot.
“Kamu baca yang mana emang?”
“Ya dari awal, sampe dia memutuskan menjauh. Nggak tertulis dengan jelas juga tentang perasaan dia.”
Bella heran. “Sini mana coba bukunya? Kamu makan dulu, udah aku bawain nih.”
Azri akhirnya makan makanan yang dibawa Bella. Padahal sudah jam sepuluh malam. Tapi tak apalah, ia juga sangat lapar...
Di hadapannya, Bella sedang serius membolak-balikkan halaman buku -SpiDharman tentunya- sambil menunggu Azri menyelesaikan makannya.
“Udah?” Bella bertanya sambil menguap.
“Udah,” jawab Azri sambil meminggirkan nampannya. Ia mulai serius lagi.
“Nihh. Aku tuh baca buku ini dari belakang sedangkan kamu bacanya dari depan. Makanya kita nggak ketemu. Aku jadi pengen nyanyi lagunya Tulus yang judulnya Pamit itu deh,” Bella bersiap-siap bersenandung namun dicegah Azri. “Jadul,” kata Azri. “Tadi aku baca kayaknya udah kosong deh. Maksudnya udah nggak ada lanjutannya lagi,” sambungnya.
“Nah itu abang emang rada-rada. Ini halamannya dilewat jauh maksudnya apa coba,” ujar Bella sewot. “Tapi emang karena tanggalnya yang kelewat jauh sih kayaknya. Selamat baca lanjutannya ya, aku balik ke kamar dulu. Good night,” sambungnya sambil berlalu dan menyerahkan buku itu pada Azri. Azri menerimanya pasrah, dengan penuh rasa penasaran.
“Udah! Baca lagi aja sampai selesai! Ada surat juga disana! Cie~” seru Bella dari luar pintu kamar Azri. Dasar cenayang.
Azri menutup rapat pintu kamar dan mulai membuka buku itu lagi.
“Bismillah.”

------------------------------
[11-04-2016]
Hai SpiDhar-man.
Lama nggak jumpa ya.
Dikit lagi gue lulus SMA.
Ohiya entah kenapa akhir-akhir ini gue ngerasa kayak bersemangat, ya?
Soal cewek itu, sampai sekarang kita nggak sekelas lagi. Tapi sekarang gue mencoba untuk biasa aja dan nggak menghindar lagi.
Ternyata nggak ada yang salah dari perasaan ini. Nggak ada yang salah dari jatuh cinta lagi. Dan nggak perlu takut untuk terluka lagi, karena terluka itu cuma salah satu resiko dari jatuh cinta. Kadang manfaatnya lebih banyak dari resikonya. Tinggal dari sisi bagaimana kita mau mengubah rasa cinta itu. Entah positif atau negatifnya, tergantung tiap-tiap individu.
Dan sekarang -setelah pemikiran yang amat sangat panjang dan banyak pertimbangan- gue jadi berpikir menjadikan 'cinta' itu sebagai motivator. Gue jadi lebih bersemangat untuk ngejar cita-cita gue.
***
Azri sedang berdiri di balkon depan kelasnya. Ia menatap jauh ke bawah untuk melihat siapa saja yang datang. Kebiasaan ini sudah ia mulai sejak kelas tiga. Berdiri melihat pemandangan sebelum jam masuk menjadi favoritnya. Ralat, berdiri memandangi Dharma yang berjalan dan nantinya akan menatap ke arahnya-lah yang menjadi favoritnya.
“DORR!”
“Duh nggak usah ngagetin deh, Jli. Kaya nggak ada kerjaan aja.”
Uzli terkekeh. “Oh iya Zri, Dharma SNMPTN ambil UI loh.”
Azri tercengang. “Serius?”
Uzli mengangguk mantap. “Udah gitu kata temen-temen sekelasnya dia sekarang banyak peningkatan dari belajarnya. Nilai-nilainya bagus.”
“Bagus, dong.”
“Kayaknya dia terinspirasi lu deh, Zri. Lu kan ranking paralel,” simpul Uzli. Azri mengibas-ngibaskan tangan sambil memberi tatapan nggak-usah-mikir-yang-aneh-aneh-deh.
“Tapi bener kan? Coba lu telaah lagi, Zri.”
“Tau ah, gue nggak tau perasaannya dia.”
“Gue aja yang sahabatnya nggak tahu! Hatinya dia lempeng banget kayaknya. Selama ini dicie-ciein sama siapa aja selaw aja. Kapan-kapan gue tanyain perasaannya ah.”
Azri mengabaikan perkataan Uzli barusan karena terfokus pada Dharma yang sedang berjalan di bawah.
“Dhar!” seru Uzli tiba-tiba.
Azri hampir saja ingin menyumpah serapahi Uzli kalau Dharma tidak menengok dan melambai-lambai ke arah mereka. Senyumannya yang dalam sedetik langsung menghipnotis Azri.
Benarkah Azri-lah alasan ia menjadi semangat belajar? Azri tidak peduli lagi. Yang ia pedulikan saat ini adalah alasan mengapa senyum seseorang di bawah sana selama tiga tahun terakhir ini selalu punya kekuatan magis.
-------
Azri membalik halaman buku tersebut. Sebuah amplop terjatuh keluar. Azri meraihnya dan membukanya perlahan. Ada selembar surat di dalamnya. Tidak, bukan selembar melainkan dua lembar surat. Yang pertama sangat familiar dan yang kedua sangat asing bagi Azri. Azri mencoba mengabaikan surat-surat itu dan kelanjutan buku Dharma. Tapi begitu tanggal yang terlihat di kelanjutan tulisannya sangat jauh... ia menahan untuk lanjut dan memutuskan untuk membaca surat-surat itu terlebih dahulu. Pertama, surat yang cukup asing buatnya...

Azri menutup mulut tak percaya. Dharma ternyata menyukainya. Cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi kenapa Dharma tidak memberikan surat itu? Azri mencoba mengingat-ingat kejadian di hari itu... Ahh. Perpisahan!
***
[02 Juni 2016]
(10.37 WIB)
Azri celinguk kanan-kiri mencari sosok tinggi nan gagah (halah halah). Hari ini ia sudah memberanikan diri, membulatkan tekad untuk memberitahu perasaannya. Ya, ia ingin semua tuntas dan tak ada lagi yang mengganjal hatinya. Di tangannya, ia sudah menggenggam surat yang ia buat khusus untuk menumpahkan keluhan hatinya. Ia menerka-nerka bagaimana respon Dharma nantinya, dan ia merinding. Hatinya jadi bertanya-tanya, jadi atau tidak, yaa?
            Saat sedang kebingungan mencari-cari sosok nan tinggi itu, tiba-tiba di hadapan Azri sesosok yang dicarinya muncul.
“Emm..” Azri kebingungan mengumpulkan kata-kata. “Azri?” Dharma memanggilnya. Azri kebat-kebit, ia belum siap memberikan suratnya, tapi kalau tidak sekarang.. kapan lagi.
“Dharma, jas kamu bagus,” ujar Azri memulai percakapan. Jadi terdengar aneh.
“Dhar.” “Zri.” Mereka berucap berbarengan.
“Kamu dulu,” ujar Azri. Dharma gugup, tangannya dalam posisi istirahat di tempat, mungkin menyembunyikan sesuatu? Azri sendiri sudah nerveous tak karuan, tak terpikir apa yang Dharma sembunyikan di balik tubuhnya.
“Azri, ayo foto sekelas!” seru salah satu teman sekelas Azri. Azri sadar, waktunya dengan Dharma tidak banyak. “Dhar... ini, baca ya,” Azri langsung memberi surat dan beranjak pergi, Dharma seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tak sempat. Azri sudah berlalu.
-------
[29 Desember 2023]
(00.15 WIB)
Tengah malam di kamar, Azri masih memikirkan kejadian surat menyurat itu. Ahh, kenapa ia tidak terpikir kalau waktu itu Dharma juga ingin mengatakan sesuatu. Dan kalau Dharma memang benar menyukainya... kenapa ia tidak menunjukkannya dan malah membuat Azri setengah mati menerka-nerka? Banyak tanda tanya lainnya di benak Azri. Dan sepertinya ia mulai merasa rindu sosok suaminya itu.
‘drrt.. drrt.. drrt.. drrt.. drrt..’
Azri merasakan ada getaran, entah darimana asalnya. Ia mengabaikannya.
‘drrt.. drrt.. drrt.. drrt..’
Getarannya masih belum berhenti, ia meraba saku ponselnya. Dan ia mengingat sesuatu, ponselnya ia matikan dari tadi pagi. Lalu itu getaran dari mana?
‘drrt.. drrt.. drrt..’
Azri melihat sekeliling. Huala! Ternyata ponsel Bella tadi tertinggal di kasur Azri. Sekarang getarannya sudah berhenti. Azri ingin membuka ponselnya tapi takut itu adalah suatu hal yang privasi.
‘drrt.. drrt.. drrt..’
Ponselnya berbunyi kembali. Siapa yang menelpon tengah malam begini? Karena iseng, Azri melihat ke layar untuk melihat nama penelpon. Di layar, tertera nama ‘Abang’. Hmm ternyata abangnya.
Tunggu, abang? Berarti Dharma yang menelpon kan? Tanpa ba bi bu Azri mengangkat telponnya, toh ini suaminya sendiri.
“Halo.”
“Ini dengan saudara Bella?”
Azri sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya. Kenapa suara orang asing?
“Iya ponsel ini milik Bella tapi tertinggal di tempat saya. Ada yang bisa saya bantu?”
“Oh, begini, maaf mengganggu waktu istirahat saudara. Kami dari pihak kepolisian.”
DEG.
“Emm.. kalau boleh tahu ada apa ya, Pak?”
“Begini, saudara Dharma dengan plat nomer mobil B 3901 UH baru saja mengalami kecelakaan di Jalan Kemangi Raya dan baru dilarikan ke Rumah Sakit Parahyangan. Demikian kami informasikan, dugaan kecelakaan masih dalam penyelidikan pihak berwajib.”
DEG. DEG.
Azri langsung bangkit dari kasur dan hendak menuju kamar Bella. Ia melirik jam dinding, jam dua belas lewat setengah jam, apa tidak apa-apa mengganggu waktu istirahat Bella? Tapi, ini lebih penting! Ia harus memanggil Bella.
“Halo? Apa masih tersambung?”
“Iya, Pak. Terima kasih atas informasinya. Saya akan kabari pihak keluarga secepatnya.”
Azri memutus sambungan teleponnya. Ia harus bergerak cepat.
~
Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Azri tak henti menangis. Bella mencoba menenangkan, walaupun rautnya juga menunjukkan kecemasan.
“Kalo Dharma kenapa-napa gimana, Bel?” Azri menatap Bella dengan tatapan yang kacau. “Everything is gonna be alright, oke?” Bella masih terus meyakinkan Azri. Pikiran seorang wanita yang kacau, takkan bisa tenang hanya dengan kata-kata. “Loh kamu bawa buku diari abang?” tanya Bella mendapati Azri yang masih memeluk erat buku itu. Azri menangguk, “aku belum selesai bacanya”. “Masih banyak?”. Azri menggeleng, “tinggal satu diari lagi yang terakhir”. “Mau dibaca sekarang, nggak? Bareng?” tanya Bella sambil mengulas senyum tipis. Azri –masih di tengah air matanya- mencoba tegar dan tersenyum. Ia membuka halaman terakhir buku itu. Tulisan yang cukup baru, sekitar enam bulan lalu.

------------------------------
[12-06-2023]
Gue baru ngelamar dia. Dan dia nerima gue. Akhirnya nggak lama lagi kita halal. Spi-Dharman, sampai sekarang gue nggak nyangka ini akan datang di masa hidup gue. Terima kasih udah nemenin perjalanan hidup gue sama dia. Walaupun sampai sekarang masih kebayang deg-degannya baca surat cinta dari dia. Lucu, ya? Gue bahkan nggak sempet ngasih surat itu ke dia. Semoga aja dia yakin kalau gue suka sama dia. Kita saling suka tapi ribet gini.
Untuk selanjutnya, gue janji akan jaga dia dengan sepenuh hidup gue. Gue romantis kan, Spi? Romantis banget emang.
Udah ya, sekarang lu bener-bener akan di arsipkan di kamar lama gue. Gue nggak mau bawa-bawa lu ke rumah kita berdua nanti. Maaf maaf aja ya soalnya lu alay.

Dari yang pernah sepenuh hati menumpahkan isi hatinya kepadamu, Spi.
-          Dharma.
-------
Azri dan Bella tersenyum haru –masih disela isakan- membaca tulisan Dharma. “Tuhkan, dia nikahin kamu karena dia beneran sayang kamu,” simpul Bella. Azri mengiyakan. “Gimana rasanya kabur dari dia?”. Azri merenung, ia sedikit menyesal sejujurnya, “kangen”. “Abis ini jangan kabur-kaburan lagi, ya!” saran Bella dijawab anggukan Azri. “Eh tapi, masih di topik awal, dia belum nyentuh aku loh, kenapa ya?”
Bella sok berpikir. “Baru juga sebulan. Masih mikir kali dia. atau mungkin dia menunggu momen yang tepat...”
“Misalnya?”
“Ulang tahun kamu? Ulang tahun kamu kapan?”
“29 Desember.”
“Waw! Selamat ulang tahun, Azri!”
Azri terbengong. Ia baru sadar sekarang hari ulang tahunnya. “Ya Allah, Bell. Aku sampe nggak sadar tanggal. Makasih ya,”
Bella mengangguk. Masih penasaran. “Coba aku mau liat surat yang kamu kasih ke dia dong? Aku belum baca. Terus ceritain juga awal mula dia ngelamar kamu?”.
“Oke, soal surat, ini...” ujar Azri sambil mengeluarkan surat familiarnya dari buku Dharma.

“Wauw, apa dia rasa ya dapet surat kayak gini dari kamu?” tanya Bella dan hanya dijawab kekehan oleh Azri.
‘drrt.. drrt.. drrt...’
Ponsel Bella bergetar, ia segera mengangkatnya. “Halo?”
“...”
“Iya, lalu?”
“...”
“Oke terimakasih, Pak.”
Bella menutup ponselnya dan memasukkannya ke kantong. Kemudian berbisik ke suaminya yang sedang menyetir di depan. Azri memperhatikan mereka sekilas dan merasa sedikit iri.
“Oke sampe mana tadi?” tanya Bella datar. Azri bingung. “Hmm.. lamar?”. “Ohiya coba dong cerita, aku selama ini nggak pernah tau gimana dia sama perempuan yang dia suka. Dia emang tertutup banget, aku adiknya sendiri aja nggak tahu. Payah ya?” tutur Bella, entah mengapa kata itu terdengar polos dan jujur sekali, bahkan mata Bella berkaca saat mengatakannya. Azri mengangguk dan mulai bercerita.
            “Jadi awalnya setelah kejadian kelulusan itu kita nggak pernah ketemu lagi. Terus beberapa tahun kemudian, setelah reuni, kita ngobrol tuh. Dan habis itu kita cerita apa-apa yang pernah kita laluin selama ini dan yaudah abis itu kan biasa lagi tuh. Eh setahunan kali ya, dia ngajak makan tuh pas jam istirahat kantor. Terus dia ngasih cincin ke aku sambil bilang, ‘kamu mau nggak sama aku?’. Terus aku mikir dulu kan ya, sebulan baru aku kasih jawaban. Akhirnya berlangsunglah lamaran dan kemudian pernikahan. Sampe sekarang ini, aku kabur dari dia, hehe,” ujar Azri panjang lebar. Bella sedikit terkekeh, walau matanya masih berkaca-kaca.
            “Kita mau ke RS. Parahyangan? Kok jalannya kesini ya? Kayak ke rumah?” kata Azri. Bella mengerutkan dahi. “Masa sih?”. Bella berbisik kepada suaminya sekilas, lalu sang suami mengangguk. Azri masih keheranan. “Ini ke rumah kan? Nggak jadi ke rumah sakit atau gimana?”. Bella termenung sebentar, “Hmm iya, udah dipulangin.”
Azri menghela napas, ternyata sudah dipulangkan. Azri tak perlu khawatir. Rangga berusaha memarkirkan mobil di sebelah mobil flat merah, sementara Azri bersiap turun. Bella masih terdiam di posisinya. “Bel, kamu nggak turun?” tanya Azri. “Emm, kamu aja dulu, selesain masalah kalian, aku nyusul,”. “Oke, aku turun dulu.”
Azri melepas sepatunya dan masuk ke rumahnya. Di pintu ia dihadang salah seorang polisi. “Suami saya ada di dalam, Pak?” tanya Azri. Sang polisi mengangguk, kemudian mengatakan sesuatu, “Ini barang yang tertinggal di lokasi TKP”. Azri menerima bungkusan, kemudian si polisi berlalu. Azri membuka isinya, sebuah kado. Ah! Dharma bahkan mengingat  ulangtahunnya. Tapi apa yang ia lakukan tengah malam begini sampai celaka? Azri bergegas masuk. Tapi langkahnya tertahan, ia mendapati teman-teman Dharma berkumpul.
Kenapa mereka menangis?
Azri bersumpah ia tak mau mendengar hal yang buruk. Demi apapun ini hari ulang tahunnya.
“Azri, Dharma menghembuskan nafas terakhir tepat jam dua belas.”
            Sebuah kalimat dari Firman, membuat Azri langsung terduduk lemas seketika. Seorang rekan Dharma dan Azri, Farah, menghampiri Azri. “Kamu gapapa?”. Azri terdiam. Farah mengutuki perkataannya barusan. Bagaimana mungkin seseorang yang baru saja menyadari tulusnya cinta sang suami dan tiba-tiba ditinggalkan seperti ini akan merasa baik-baik saja?
Azri menangis, Farah masih terus menemaninya. Selang sepuluh menit Azri terisak. “Far, aku mau liat jenazahnya”. Farah mengangguk, “ayo, di kamar kalian.”
Azri melihat tubuh panjang itu terbaring tertutup kain batik, ia tak sanggup menahan tangis lagi. Tangisannya pecah memenuhi ruangan. Rekan-rekan yang lain hanya terdiam kaku –tak tahu harus bagaimana lagi-. Mereka tidak merasakan penderitaan Azri. “Kenapa kamu tinggalin aku, Dhar? Kenapa kamu tega?”
Azri membanting kado dari Dharma yang sedari tadi ia pegang. “Aku nggak butuh ini! Ambil lagi ini! Aku mau kamu balik lagi... AKU CUMA MAU KAMU, DHAR!”. Sebuah kertas jatuh dari kado tersebut. Azri memungut kertas itu. “Kamu sempet nulis ini? Balik Dhar, aku mau baca ini sama kamu”. Rekan-rekan lain yang hadir, seperti Novrina mulai ikut terisak. Sebenarnya Azri tidak tahu kenapa teman-teman Azri dan Dharma bisa disini tiba-tiba tengah malam begini. Azri tidak peduli, ia masih terus terisak.
            Selang dua puluh menit Azri mulai tenang. Farah menghampiri Azri. Hening sebentar. Farah mulai bercerita. “Zri? Tau nggak kenapa kita disini? Kita diminta dateng untuk rayain ulang tahun kamu. Dharma bilang ini hari yang paling special buat dia. Tadi dia pergi buat nyari kamu, dan nggak beruntung. Dia malah jadi korban tabrak truk dari lawan arah.”. Tak lama, Novrina menghampiri Azri dan Farah sambil membawa kue. “Ada atau enggak dia, pesan dia harus tetep kita laksanain. Tiup lilin, Zri,” ujar Novrina. Azri berkaca-kaca menahan tangis sebisa mungkin. Ia  meniup lilinnya, harapannya tetap satu, walau tak mungkin, ia hanya ingin Dharma kembali. Ia berjanji tak akan pergi lagi.
            Setelah tiup lilin, suasana kembali hening. Azri memandang surat dari Dharma tadi, ia memutuskan untuk membacanya.

Ia kembali menangis (mungkin karena susah membaca tulisan Dharma yang kecil itu).
Suara pintu kamar terbuka, Bella memasuki kamar. Mengambil posisi dekat jenazah Dharma. “Bang, bangun! Azri udah tau tuh kalo selama ini lu tulus sama dia.” Bella memulai ocehannya dengan mata berkaca-kaca. “Bangun hey. Bodoh! Bodoh lu nyia-nyiain dia sampe akhirnya dia pergi. Bodoh!”
Azri kembali terisak. Untuk saat-saat seperti ini sepertinya ia tak mampu berbuat apapun selain menangis. Bella menghampirinya. “Gimana rasanya kehilangan dia?”. Azri terdiam. Bella menambahkan, “apa kalian berdua harus disadarkan sama kehilangan dulu, baru ngerti seberapa berharganya kalian masing-masing, hah?”. Bella benar, Azri harus disadarkan dengan kehilangan sehingga dia tahu seberapa kacau hidupnya tanpa Dharma. Dan Dharma, baru menyadari pentingnya Azri setelah ditinggalkan. Sungguh klise.
            “Satu yang nggak pernah aku tahu, selama ini Dharma emang tulus sama aku,” ujar Azri. Suasana kembali menjadi hening, hanya suara napas masing-masing yang memenuhi ruangan. Azri menambahkan, “Dan satu yang nggak pernah Dharma tahu, aku nggak mau dan nggak akan pernah bisa hidup tanpa dia!”

TAMAT(?)
###
Warning! Cerita ini hanyalah FIKSI belaka. Alur, tokoh, latar, hanyalah karangan penulis belaka. GAUSAH KEGEERAN, GUE GASUKA ORANG KEGEERAN. Oke?
I dedicated this story for my bestie,

Dear Azri. Maafkan cerita ini yang terlewat ngaret:’) Authornya abal-abal sih. Huhu, btw makasih yang udah baca. Maaf panjang. Maaf kalo typo sana-sini. Maaf kalau ceritanya jelek, garing, gaseru, gaasik. Sekian dan terimakasih~!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar