Rabu, 31 Januari 2018

Mahabbah (CERPEN)

Hai. Namaku Ratih. NIM 027. Aku mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika di salah satu universitas di Jakarta. Tahun ini, aku sudah memasuki semester akhir. Banyak suka duka yang telah ku alami selama ini. Suka, karena ini jurusan impianku, dan kampus idamanku. Duka, karena yang jadi impian dan idamanpun tak selalu sesuai dengan harapan.

"Ratih, anti laa ba'sa (kamu nggak papa)?" tanya Rita kepadaku. Aku diam. Aku memang ingin mogok bicara dan Rita tahu betul itu.

Ohiya, biar kuperkenalkan dulu siapa Rita ini. Rita ini sahabat hijrahku. Aku senang bersamanya, karena kami banyak kesamaan. Dia memang selangkah di atasku untuk urusan agama, tapi dia tidak keberatan untuk melangkah bersamaku.
Tak terasa kami sudah di penghujung masa kuliah, dan kami berkewajiban untuk mengikuti program profesi keguruan. Kami para mahasiswa menjalani tugas mengajar di sekolah yang berbeda. Beruntungnya, aku satu tempat tugas dengan Rita.

"Udah, yuk, mending Dhuhaa dulu?" ajak Rita. Aku mengikuti langkahnya ke Musholla sekolah. Memang sepertinya aku perlu banyak-banyak istighfar dan cerita sama Allah.
Setelah empat roka'at kami tunaikan, Rita mulai bicara lagi. Kali ini bijak. "Semua akan menikah pada waktunya, dan kamu harus siap". Aku mengangguk. Setelah 'mengadu' sama Allah tadi, aku memang jadi lebih tenang.

Mungkin banyak orang yang tidak suka akan sikapku yang mudah menggebu, dan menjadi menyebalkan kalau sudah kesal. Tapi perlu kalian tahu, Rita tak pernah merisaukan hal tersebut dan selalu bersabar dengan apa adanya aku. Itu yang menjadikan ia sangat berharga dalam hidupku.

Seperti saat ini, sejak tadi pagi aku jadi emosi dan Rita lah sasaran empukku sejak kami bertemu. Namun justru pada akhirnya Rita yang menyabarkan aku.

Aku menarik napas dan ingin mulai berbicara. Mogok bicara dengan sahabat memang tidak menyenangkan, kan? Kalian tahu betul itu.

"Taa, tau nggak dari ini semua apa yang paling bikin aku sedih?" tanyaku. Rita menggeleng. "Aku jadi inget aku udah mau umur 22, masih berlumur dosa, separuh agamaku belum disempurnakan," jawabku. Rita menahan tertawa. (in note: ungkapan bahwa menikah menyempurnakan separuh agama)
Aku tidak benar-benar serius menyampaikannya, aku memang sering ceplas-ceplos dan bercanda. Harap kalian tidak suuzhon dahulu.
"Aku tambahin," balas Rita. Aku ingin menutup telinga dalam hitungan satu... dua... "DAN DITINGGAL NIKAH."
Baik, Rita menang.

***

Maret, 2017

Seorang gadis sedang menatap ponsel dan membuka laman pesbuknya. Ia melihat lihat sebuah rekomendasi pertemanan yang kebetulan sangat ia kenali milik siapa. Tanpa pikir panjang ia menambahkan orang tersebut di daftar pertemanan.

Beberapa minggu kemudian si gadis mengikuti sebuah Dauroh. Disana, ia mendapati orang yang baru ia tambahkan di pertemanan pesbuk itu, menjadi panitia. Jantungnya berdegup. Ia jadi heran mengapa jantungnya berdegup.
Gadis itu memberanikan diri menatap orang tersebut saat orang tersebut bicara. Dan seperti tersambar halilintar, tatapan mata orang tersebut mengingatkannya pada "seseorang" di luar sana. Jantungnya semakin berdebar.

Sang gadis pulang dari Dauroh, dan kemudian terkejut ketika membuka instogram. Gadis itu terkejut karena dikirimi follow request oleh orang tadi.

Pertemanan di sosial media berlangsung biasa saja. Namun si gadis seperti merasa sudah menjadi teman dengan orang ini. Karena beberapa kali statusnya disukai orang ini, dan bahkan dikomentari.

Namun jangan berpikir kalau pertemanan di sosial media berarti berteman juga di dunia nyata. Karena nyatanya, mereka tak pernah mengobrol langsung. Mungkin hanya dalam bentuk saling menanggapi: kondisi ketika seseorang ini menjadi pembicara di acara yang gadis ini ikuti. Selebihnya, mungkin berbagi mic lewat hijab masjid? Hehe.

Maret 2020

Sang gadis membuka laman pesbuk dan terkejut. Rupanya seseorang ini mengunggah sebuah foto undangan pernikahan. Ia memperhatikan nama pasangan orang ini, dan cukup maklum. Ia memang sejak dulu mengenal wanita pasangan orang tersebut. Sang gadis lalu meninggalkan komentar: "barakallahulakuma...."
Beberapa jam kemudian mendapat balasan: "aamiin teh. Ditunggu kehadirannya,"

Dan terjadi begitu saja.

***

"Udah ngeledeknya?" tanyaku pada Rita. Rita masih saja menertawakan aku.
"Kamu cem..."
"Nggak." balasku cepat.

Memang aku tidak cemburu kok, aku hanya kecewa kenapa bukan aku yang mengundang duluan. Setidaknya, jadi lebih enak kan mengomentari barakallahulakuma-nya, kan bisa diberi kata-kata "dari Ratih dan keluarga".

"Yaudah, bagus kalau nggak cemburu. Lagipula kamu suka..."
"Aku nggak suka sama aa, Taa," balasku lagi dengan cepat.
"Dengerin dulu!"
"Oke,"
"Lagipula kamu suka aa, oke kagum sama aa, karena aa mirip seseorang kan?"
Aku menahan napas. Benar juga Rita.

***

Maret 2017

Sang gadis tak berkedip menatap pembicara di Dauroh tersebut. Seseorang yang berada di depan tersebut kalau boleh dikatakan, mirip dengan seseorang lain di luar sana -tatapannya. Sang gadis tak mau berasumsi lebih. Tapi ia jadi tak bisa berpikir panjang. Orang ini; anak PAI semester akhir yang menjabat sebagai ketua ini, punya mata yang sama dengan adik kelas yang dulu gadis ini sukai di SMA.

Pikiran sang gadis mengembara kesana-kemari, membayangkan betapa dulu ia suka pada adik kelas tersebut. Betapa ia menjadikan orang tersebut alasan mengapa ia harus berubah menjadi lebih baik, dan betapa alasan tersebut akhirnya berpindah haluan.

Tahu kan, katanya, niat itu selalu diperbaharui?
Dan itu yang terjadi pada sang gadis setelah lulus SMA. Setelah ia berhijrah karena alasan "seseorang", Allah datangkan lingkungan yang baik, yang membuatnya belajar melupakan lingkungan lamanya. Melupakan alasan awal mengapa ia harus berhijrah. Dan menemukan alasan baru kenapa ia harus menjadi lebih baik: karena Allah.

Walau pada kenyataannya istiqomah memang tak semudah hijrah, gadis ini selalu mendapat dorongan lagi dari lingkungannya dikala futur. Acapkali ia ingin bercampur lagi dengan kenangan, lagi-lagi nasihat dan teguran ia terima. Pahit memang, tapi bukankah obat yang pahit menyembuhkan segala sakit?

"Raa kalau kangen mending baca Qur'an."
"Raa daripada kangen, mending inget LPJ-an."
"Raa mending ini, Raa mending itu"
"Ra, Allah lagi Allah mulu Allah terus"

Yah, beribu kali kesalahan, beribu kali rasa malu, dan beribu pula tekad untuk bangkit dari masa lalu. Begitu seharusnya jiwa pemuda. Tidak kalah pada hawa nafsu!

Gadis ini bertekad melawan nafsunya. Ia tidak akan kalah pada pembicara di depan yang mirip sekali dengan masa lalunya tersebut. Tidak akan!

***

"Yaudahlah, udah Taa. Kan, kalau jodoh nggak kemana. Kalau kemana-mana berarti nggak jodoh. Selesai," balasku santai. "Lagipula, kan nggak boleh punya perasaan lebih sama orang yang belum tentu jodoh kita," tambahku. Ucapanku barusan itu... pastinya aku sedang sadar.
"Kalau sama kak Adnan gimana? Kaguman mana, ke aa atau kak Adnan?" tanyanya lagi.
Wah, inisih salahku yang terlalu semangat memuji orang di hadapan orang lain, padahal aku sendiri tidak mengerti perasaanku. Sehingga semua menyimpulkan yang bermacam-macam. Semoga Allah ampuni aku atas sikapku yang ini.
"Kak Adnan ketua himpunan jurusan kita dulu, Aa ketua organisasi kita dulu. Yah, karena mereka pemimpin, mereka sama sama aku hormati, kagumi, aku gugu, dan aku tiru dong!" balasku semangat. Yah, aku, kumat lagi.
"Tapi kalau ke aa sekarang nggak boleh, ya. Udah calon suami orang," nasihat Rita. Aku mengangguk-angguk. "Kalau sama kanan?" tanyaku balik. Kalian perlu tahu, aku hanya meledek, ingin tahu respon Rita.
"Aa umur 25 ya?" tanyanya.
"Iya, hampir."
"Kanan 24?"
"Iya."
"Yaudah, boleh"
"Udah gitu doang?"
"Iya. Ini ngomongin apa sih kita?! Mending kita dzikir, jangan lupa kirim Robithoh..."
"Oke Robithoh untuk laporan program profesi dan Robithoh untuk skripsi kita. Supaya hati kita bersatu sama dua benda itu!"
"Aamiin"

Robithoh versinya Izzatul Islam:
"Sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati ini telah berpadu, berhimpun dalam naungan cinta-Mu. Bertemu dalam ketaatan, bersatu dalam perjuangan menegakkan syari'at dalam kehidupan. Maka kuatkanlah ikatannya, kekalkanlah cintanya, tunjukkilah jalan-jalannya. Terangilah dengan cahayamu yang tiada pernah padam, ya Robbi bimbinglah kami...."

---

Amanat: jangan maksiat, dosanya berat. Kau tak akan kuat. Biar Dilan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar